Masalah kelangkaan kapal laut ini menimbulkan masalah turunan seperti kelangkaan kontainer, biaya pengiriman yang melambung tinggi, penundaan pengiriman dan masih banyak lagi. Dampak dari masalah ini juga dialami perusahaan-perusahaan dalam negeri yang berorientasi ekspor. Sejak pertengahan tahun lalu mereka bergulat dengan masalah yang sama dan sampai saat ini belum ada tanda-tanda akan kembali normal seperti sebelum pandemi.
Kelangkaan kapal laut untuk pengiriman barang diseluruh dunia saat ini sebenarnya dimulai sebelum pandemi.
Pada akhir tahun 2019, semua shipping line atau perusahaan pelayaran dunia telah mengumumkan kenaikan "freight cost" mulai awal tahun 2020. Kenaikan freight cost ini karena implementasi dari aturan IMO (International Maritime Organization), dimana per 1 Januari 2020 semua kapal laut yang beroperasi wajib menggunakan bahan bakar dengan kandungan sulfur maksimal 0.5% dalam mendukung zero-emission.
Implikasi dari aturan ini pemilik kapal atau shipping line wajib menggunakan bahan bakar low-sulfur yang harganya lebih tinggi atau tetap menggunakan bahan bakar biasa (kandungan sulfur 3-4%) namun mereka harus memasang alat tambahan untuk mengurangi kandungan sulfur gas buang mesin kapal.
Dalam menyiasati aturan dari IMO ini banyak shipping line yang akhirnya me-pensionkan armada kapal yang sudah berumur karena tidak efisen. Hal ini juga menyebabkan jumlah armada secara global berukurang dan turut berkontribusi terhadap kelangkaan kapal laut saat ini.
catatan:
IMO, Â the International Maritime Organization, adalah adalah badan khusus PBB yang bertanggung jawab atas Keselamatan dan Keamanan Pelayaran Dunia dan pencegahan pencemaran laut karena tumpahan bahan bakar dan pencemaran udara dari gas buang kapal. IMO mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan dan pencapaian Net-Zero Emission yang diprakarsai oleh PBB.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H