Mohon tunggu...
Rudy Subagio
Rudy Subagio Mohon Tunggu... Lainnya - Just ordinary people, photograph and outdoors enthusiast, business and strategy learner..

Hope for the Best...Prepare for the Worst ...and Take what Comes. - anonymous- . . rudy.subagio@gmail.com . . Smada Kediri, m32 ITS, MM48 Unair

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Tiga Langkah Efektif Menghadapi Atasan yang "Killer" dan Merasa Benar Sendiri

9 Oktober 2021   13:12 Diperbarui: 10 Oktober 2021   19:26 1304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sedang dimarahi oleh atasan "killer". Bagaimana cara menghadapinya? Sumber: Kompas.com

Dalam dunia kerja, kadang kita menemukan atasan yang pilih kasih dan merasa benar sendiri. Tentu saja, atasan juga manusia biasa yang memiliki sifat dan karakter yang berbeda-beda. Sebelum kita menghakimi sikap atasan yang semau gue, toxic, sentimen pribadi , di luar nalar dan tidak memiliki tujuan positif terkait perlakuannya kepada kita sebaiknya kita perhatikan beberapa hal ini.

Pertama kita perlu memeriksa dan mengecek faktanya, apakah sikap atasan yang negatif ini hanya penilaian kita yang didasari perasaan pribadi ataukah orang lain ada yang merasakan hal yang sama. Apakah sikapnya memang mengarah ke "like and dislike" atau pilih-kasih dengan alasan yang tidak jelas dan subyektif atau sebaliknya masih dalam koridor profesionalitas kerja. Sebaiknya kita memeriksa fakta dengan jujur agar kita tidak terjebak pada penilaian yang tidak obyektif yang justru akan merugikan kita sendiri.

Kedua, kita tidak bisa memilih siapa atasan kita -- dalam beberapa kasus kita juga tidak bisa memilih siapa bawahan kita. Dalam hidup ini ada hal-hal yang bisa kita ubah dan ada hal-hal yang tidak bisa kita ubah. 

Hal-hal yang tidak bisa diubah salah satunya adalah sifat atau karakter atasan kita. Atau membuat atasan menyukai kita. Adalah mustahil kita bisa merubah sifat seseorang apalagi atasan kita. 

Juga mustahil membuat atasan yang tidak menyukai kita menjadi suka sama kita. Hubungan antar pribadi sangat unik, ada semacam "chemistry" yang membuat satu orang cocok atau "klik" dengan lainnya, sebaliknya ada pula yang "chemistry"nya memang sudah tidak cocok dari sononya. 

Untuk hal-hal yang tidak bisa diubah hanya satu yang bisa kita lakukan "take it or leave it". Dengan segala pertimbangan yang matang bila kita bisa mendapatkan perkerjaan yang lebih baik dan memutuskan untuk "leave", lakukan. 

Sebaliknya bila kita hanya bisa memilih "take it" ya terima saja, jalani dan hadapi dengan riang gembira. Sesederhana itu bila kita tidak memasukkan faktor "emosi", namun bagi mereka yang merasa menjadi "korban" atau orang yang memakai perasaan lebih dominan dari logika akan menjadi hal yang pelik dan rumit.

Ketiga, tidak ada yang memaksa kita untuk tetap bertahan untuk bekerja dengan atasan yang toxic atau untuk menyukai atasan kita. "Nobody put a gun in your head" - Tidak ada yang menodongkan pistol ke kepala anda dan memaksa anda untuk bekerja. 

Namun selama kita masih bekerja di sana kita harus melakukan perintah yang diberikan oleh atasan, jangan komplain kecuali kita sudah tidak ingin bekerja disana lagi.

Setelah memahami duduk persoalannya dengan jelas, memeriksa dengan jujur fakta-fakta yang ada dan mengkonfirmasikannya, bila memang benar atasan kita tidak fair atau toxic, selanjutnya bagaimana ? Apa langkah terbaik yang mesti kita lakukan untuk menghadapi situasi demikian?

Sejujurnya tidak ada ada kiat atau tips terbaik untuk menghadapi situasi seperti diatas. Harus dilihat kasus per kasus, diantaranya adalah kondisi perusahaan tempat kita bekerja, perusahaan baru atau yang sudah established lama. 

Perusahaan besar, menengah atau kecil, perusahaan keluarga atau publik atau kombinasi keduanya, perusahaan lokal atau mulitinasional, posisi kita pada level mana, usia, pengalaman, budaya organisasi, prospek karir kedepan dan masih banyak lagi faktor yang membedakan antara satu kasus dengan lainnya.

Selain itu kadar toksisitas dari tiap atasan juga berbeda-beda, ada atasan yang suka marah-marah hanya karena hal-hal sepele dan membesar-besarkan kesalahan kecil. Ada yang memberikan target atau ekspektasi yang tidak masuk akal, tidak menghargai bawahannya, like and dislike, tidak suportif, suka merendahkan orang, dan tidak punya tujuan positif atas sikapnya kepada kita dan masih banyak lagi.

Foto Ilustrasi Bos yang Toxic, Sumber: rri.co.id
Foto Ilustrasi Bos yang Toxic, Sumber: rri.co.id

Namun demikian ada prinspi-prinsip dasar yang berlaku untuk semua kasus secara umum, antara lain.

1. Jangan Baperan (Kendalikan Suasana Hati)

Prinsip nomer satu adalah jangan bawa perasaan untuk menilai sikap atasan, bersikaplah profesional dan obyektif karena ini urusan kantor bukan urusan pribadi. 

Jangan menyalahkan atasan dengan dalih dia tidak profesional, subyektif dan seenaknya "like and dislike" pada bawahannya.

Tidak ada gunanya sama sekali menyalahkan atasan - anyway, who are you ? Emang siapa elu ? Lihat masalah secara obyektif dari sudut pandang profesionalitas. 

Cari penyebab kenapa atasan berbuat demikian kepada kita, apakah kita berbuat kesalahan, tidak bisa mencapai target atau ekspektasi yang terlalu tinggi. 

Kita perlu mengevaluasi diri secara obyektif, apakah kita memang kompeten pada posisi kita saat ini, atau kita cuma ke-geer-an saja merasa paling jago dalam pekerjaan kita padahal mungkin orang lain bisa mengerjakannya dengan lebih baik. 

Salah satu indikator kalau kita memiliki kompetensi tinggi namun kurang dihargai oleh atasan kita saat ini adalah apakah kita "laku" di tempat lain. 

Tempat lain tidak harus perusahaan lain namun bisa departemen lain, divisi lain dalam satu perusahaan atau mungkin banting setir alih profesi sesuai kompetensi kita.

Sekali lagi menyalahkan keadaan atau menyalahkan atasan tidak ada gunanya dan akan berdampak buruk bagi kita sendiri. Bila kita merasa sebagai "korban", ini akan menyebabkan suasana hati kita akan menjadi kacau karena mengikuti perasaan yang subyektif sehingga kinerja kita juga menurun. 

Bila kinerja kita menurun maka atasan dengan gampang mengkonfirmasi bahwa kita memang tidak kompeten dan kita akan semakin down lagi begitulah seterusnya seperti lingkaran setan.

Selain itu sebagai "korban" biasanya kita akan baper dan menderita secara batin padahal orang yang menyebabkan kita menderita tenang-tenang saja. Jadi ini seperti "sudah jatuh ketimpa tangga", sakitnya bertubi-tubi. 

Jadi buat apa kita bereaksi secara negatif, menyalahkan orang lain dan menggunakan perasaan terlalu berlebihan dibanding rasio. 

Bersikaplah biasa saja, maklumi kalau atasan tidak adil, toxic atau diluar nalar, dia juga manusia biasa. Mungkin dia juga punya masalah sendiri yang tidak kita ketahui.

2. Segera Move-on (Segera bangkit dan up-grade diri)

Setelah melakukan introspeksi diri dan mengevaluasi kinerja kita sendiri secara obyektif dan rasional maka inilah saatnya untuk berbenah. 

Pertama kita periksa kompetensi kita selama ini, apakah ada pengetahuan atau ketrampilan yang masih kurang dan harus kita tingkatkan dalam menangani pekerjaan kita selama ini. 

Pengetahuan dan ketrampilan disini bukan hanya hard skill atau technical skill namun juga soft skill seperti ketrampilan berkomunikasi yang baik, interpersonal skill dan lainnya. Mungkin hubungan yang kurang harmonis dengan atasan selama ini karena kurangnya ketrampilan kita dalam berkomunikasi, berdiplomasi dan bernegosiasi dari diri kita. Bila demikian kita harus "mau" belajar dan mempraktekan ketrampilan tersebut terlepas dari asumsi atau kenyataan bahwa memang "chemistry" kita tidak "klik" dengan atasan.

Selanjutnya kita harus selalu meng-up grade diri dengan mengembangkan ketrampilan baru, bergabung dengan komunitas dan menjalin jejaring untuk mengasah pengetahuan dan wawasan. 

Kembangkan hubungan yang baru dengan banyak orang melalui komunitas, forum diskusi dan mengikuti event-event yang bermanfaat. 

Jangan terkungkung pada lingkungan kerja saat ini, lihat dunia secara lebih luas, terus kembangkan wawasan dan terus bertumbuh. 

Dunia bukan hanya tempat kerja dan masa depan tidak ada yang tahu seperti apa nanti, tinggal kita siap atau tidak menyongsong masa depan yang penuh harapan.

3. Bersikap Profesional dan Positif

Bersikap profesional artinya kita bisa menempatkan diri secara proporsional mana urusan kantor dan mana urusan pribadi. Pada dasarnya hubungan antara kita dan atasan adalah hubungan kerja. Kita dibayar untuk bekerja demi kepentingan atasan atau perusahaan. Jadi terlepas dari kita suka atau tidak suka dengan sikap atasan kita wajib melakukan tugas yang sudah diberikan kepada kita.

Selain hubungan kerja kita juga berinteraksi secara pribadi sebagai bagian dari komunitas atau masyarakat sehingga sopan santun dan tata krama tetap harus dijunjung tinggi. Kita harus menunjukkan diri sebagai pribadi yang berkualitas dan selalu berpikir positif. 

Tidak ada gunanya berpikir negatif terhadap atasan kita karena apa yang timbul dari hati dan pikiran akan tersirat dalam tindakan dan ucapan kita. 

Lebih baik kita mengampuni mereka seandainya memang sikap mereka menyakit hati kita. Mengampuni, berdamai dengan diri sendiri dan berpikir positif adalah kunci untuk mengembangkan diri dan menjadi pribadi yang berkualitas.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun