Sejak beberapa bulan yang lalu, atau tepatnya sekitar bulan Mei yang lalu hampir semua produsen otomotif dunia menghadapi masalah kekurangan pasokan chip semikonduktor.Â
Produsen mobil yang mengalami masalah antara lain: Ford, General Motors, Honda, Nissan, Toyota, Hyundai, Jaguar Land Rover, Mercedes-Benz, Stellantis, Subaru, dan Volkswagen Group.Â
Dampak dari kelangkaan chip ini sejumlah perusahaan mobil terpaksa mengurangi produksi, menunda produksi dan bahkan menghentikan produksinya. Hal ini berpotensi membuat produsen mobil merugi hingga triliunan rupiah.
Ada berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya kelangkaan pasokan chip untuk industri otomotif. Faktor yang pertama adalah dampak dari Covid-19.Â
Pada awal merebaknya pandemi covid-19 banyak perusahaan otomotif menghentikan operasional atau mengurangi produksinya karena permintaan mobil menurun drastis dan sebagai dampak dari penerapan tindakan pencegahan penularan di kalangan pekerja.
Di lain pihak selama pandemi justru penjualan gadget melonjak sehingga permintaan chip untuk perangkat ini naik tajam, sehingga pabrik pembuat chip mengalihkan produksinya untuk memenuhi permintaan industri gadget.
Pada saat awal tahun 2021 kondisi pandemi mulai melandai dan pasar mobil pulih lebih cepat daripada perkiraaan sehingga permintaan chip untuk mobil juga naik.Â
Namun produsen chip sudah terlanjur mengalokasikan produksinya untuk membuat chip gadget sehingga stock chip untuk otomotif hanya sedikit.
Kondisi ini menyebabkan produsen mobil melakukan pembelian chip sebanyak mungkin (panic buying) untuk mengamankan stock masing-masing.Â
Akibatnya stock chip untuk mobil di pasaran semakin langka dan sulit didapat. Di sisi lain pihak produsen chip juga tidak bisa serta merta mengalihkan ke produksi chip untuk mobil karena permintaan chip untuk gadget juga masih tinggi.
Kelangkaaan chip untuk mobil ini akhirnya meluas juga ke chip untuk gadget dan produk elektronik lainnya karena masing-masing berusaha mengamankan stocknya dengan melakukan panic buying sementara produksi chip masih terbatas.Â
Menurut CEO Daimler AG, Ola Kllenius, krisis kelangkaan chip global diperkirakan dapat berlangsung hingga 2022 dan bahkan 2023 karena perlu waktu untuk mengejar ketertinggalan produksi dan mencapai keseimbangan baru supply-demand.
Faktor lain yang memicu kelangkaan chip untuk mobil yaitu kebakaran di pabrik chip di Jepang, yang memasok 30 persen unit microcontroller untuk mobil di seluruh dunia.Â
Selain itu musim dingin yang parah di Texas juga memaksa produsen chip otomotif skala besar seperti NXP Semiconductors dan Infineon menutup sementara pabrik mereka. Demikian juga pabrik Samsung Electronics Co Ltd yang ada di sana.
Dalam beberapa analisa di media masa, masih ada beberapa faktor yang ditengarai ikut andil dalam hal ini diantaranya adalah perselisihan dagang antara China dan Amerika Serikat.
Namun bila kita menengok agak jauh kebelakang, kita bisa menarik benang merah antara peristiwa yang terjadi sejak beberapa tahun sebelumnya sampai terjadinya krisis kelangkaan chip kali ini.Â
Peristiwa penting tersebut adalah perang dagang antara Jepang dan Korea Selatan yang dimulai pada bulan July 2019 dan masih berlangsung sampai saat ini.
Perang Dagang ini secara resmi di mulai pada tanggal 1 Juli 2019, dengan diterbitkannya Keputusan Pemerintah Jepang yang membatasi ekspor bahan kimia yang dibutuhkan oleh industri semikonduktor Korea Selatan, yang berlaku efektif per 4 Juli 2019.
Keputusan Jepang ini berawal dari Keputusan Mahkamah Agung Korea Selatan pada tahun 2018, yang memerintahkan beberapa perusahaan Jepang untuk memberikan kompensasi ganti rugi kepada warga Korea Selatan yang menjadi korban kerja paksa selama Perang Dunia II.
Namun pemerintah dan perusahaan Jepang menolak memberi ganti rugi dengan alasan masalah itu sudah selesai saat normalisasi hubungan kedua negara pada tahun 1965.
Atas penolakan tersebut Pengadilan Tinggi Korea Selatan memerintahkan menyita aset perusahaan Jepang terkait yang ada di Korea Selatan.
Hal ini membuat Pemerintah Jepang marah membuat hubungan kedua negara semakin memanas yang diikuti dengan tindakan balasan dari Pemerintah Jepang dengan melakukan pembatasan ekspor bahan kimia penting ke Korea Selatan.
Tindakan pembatasan eskpor ini mendapatkan reaksi yang sangat keras dari Pemerintah Korea Selatan, dan mereka melaporkan kasus ini ke WTO dan juga melalui jalur diplomasi dengan memanggil dubes Jepang di Korea Selatan. Beberapa kali perundingan baik yang difasilitasi oleh WTO maupun antar perwakilan kedua negara secara langsung tidak mendapatkan kata sepakat sampai saat ini.
Pemerintah Korea Selatan telah bersumpah untuk tidak mau dikendalikan oleh Jepang lagi dan mereka menggelontorkan dana besar-besaran untuk memproduksi bahan kimia tersebut secara mandiri. Reaksi warga Korea juga tak kalah keras, mereka menyerukan boikot terhadap semua produk Jepang di Korea Selatan.
Korea Selatan merupakan produsen chip memori terbesar di dunia, dan Jepang merupakan pemasok terbesar material penting dalam produksi chip tersebut. Perusahaan Korea Selatan seperti Samsung Electronics, LG Electronics dan SK Hynix memproduksi dua pertiga dari produksi chip dunia.
Sementara itu Perusahaan Jepang seperti JSR Corporation, Showa Denko, dan Shin-Etsu Chemical memproduksi Fluorinated polyamide dan Photoresist sebesar 90% produksi dunia, kedua bahan tersebut merupakan bahan baku chip.
Korea Selatan sangat memerlukan bahan baku asal Jepang untuk memenuhi kebutuhan produksi semikonduktor dan bahan elektroniknya.
Menurut data dari Asosiasi Perdagangan Internasional Korea (KITA, Korea International Trade Association), Korea Selatan mengimpor 94% Fluorinated Polyamide, 91,9% Photoresist, dan 43,9% Hidrogen berfluorida dari Jepang.
Sementara itu Jepang adalah produsen terbesar dari ketiga bahan kimia tersebut.
Dengan demikian Korea Selatan dan Jepang memiliki peran yang cukup penting dalam memproduksi chip semikonduktor untuk kepentingan pembuatan gadget, chip yang digunakan untuk mobil dan barang elektronik lainnya.
Dampak dari perang dagang Jepang-Korea Selatan ini memukul perekonomian kedua negara karena produsen chip di Korea Selatan terhambat produksinya. Di sisi lain, nilai ekspor Jepang ke Korea juga turun akibat pembatasan ekspor ini.
Selain itu perusahaan Jepang juga menanggung kerugian akibat boikot yang dilakukan oleh warga Korea Selatan secara besar-besaran terhadap produk Jepang di Korea Selatan.
Selain bagi kedua negara tersebut, dampak perang dagang antara Jepang dan Korea Selatan ini meluas ke seluruh dunia dan menyebabkan krisis kelangkaan chip yang melanda industri otomotif dan berlanjut ke produsen gadget dan barang elektronik lainnya.
Bila dilihat dari sisi ini, tampaknya krisis kelangkaan chip di seluruh dunia tidak mungkin segera kembali normal dalam waktu dekat.
Perang dagang antara Jepang dan Korea Selatan berlanjut dengan mempertahankan ego masing-masing sehingga hampir mustahil mereka dapat sepakat bekerjasama lagi. Apalagi berdasarkan sejarah kedua negara ini sudah sering berselisih dan masing-masing warganya sudah punya bibit-bibit persaingan yang kuat, meskipun keduanya juga punya banyak persamaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H