Kelangkaaan chip untuk mobil ini akhirnya meluas juga ke chip untuk gadget dan produk elektronik lainnya karena masing-masing berusaha mengamankan stocknya dengan melakukan panic buying sementara produksi chip masih terbatas.Â
Menurut CEO Daimler AG, Ola Kllenius, krisis kelangkaan chip global diperkirakan dapat berlangsung hingga 2022 dan bahkan 2023 karena perlu waktu untuk mengejar ketertinggalan produksi dan mencapai keseimbangan baru supply-demand.
Faktor lain yang memicu kelangkaan chip untuk mobil yaitu kebakaran di pabrik chip di Jepang, yang memasok 30 persen unit microcontroller untuk mobil di seluruh dunia.Â
Selain itu musim dingin yang parah di Texas juga memaksa produsen chip otomotif skala besar seperti NXP Semiconductors dan Infineon menutup sementara pabrik mereka. Demikian juga pabrik Samsung Electronics Co Ltd yang ada di sana.
Dalam beberapa analisa di media masa, masih ada beberapa faktor yang ditengarai ikut andil dalam hal ini diantaranya adalah perselisihan dagang antara China dan Amerika Serikat.
Namun bila kita menengok agak jauh kebelakang, kita bisa menarik benang merah antara peristiwa yang terjadi sejak beberapa tahun sebelumnya sampai terjadinya krisis kelangkaan chip kali ini.Â
Peristiwa penting tersebut adalah perang dagang antara Jepang dan Korea Selatan yang dimulai pada bulan July 2019 dan masih berlangsung sampai saat ini.
Perang Dagang ini secara resmi di mulai pada tanggal 1 Juli 2019, dengan diterbitkannya Keputusan Pemerintah Jepang yang membatasi ekspor bahan kimia yang dibutuhkan oleh industri semikonduktor Korea Selatan, yang berlaku efektif per 4 Juli 2019.
Keputusan Jepang ini berawal dari Keputusan Mahkamah Agung Korea Selatan pada tahun 2018, yang memerintahkan beberapa perusahaan Jepang untuk memberikan kompensasi ganti rugi kepada warga Korea Selatan yang menjadi korban kerja paksa selama Perang Dunia II.
Namun pemerintah dan perusahaan Jepang menolak memberi ganti rugi dengan alasan masalah itu sudah selesai saat normalisasi hubungan kedua negara pada tahun 1965.
Atas penolakan tersebut Pengadilan Tinggi Korea Selatan memerintahkan menyita aset perusahaan Jepang terkait yang ada di Korea Selatan.