Konsultan luar negeri itu mengatakan Biaya Logistik adalah 24% dari PDB itu dari tabel BPS.
Memang betul di tabel BPS tsb komponen transportasi tidak dirinci mana ranah darat, laut dan udara. Bahkan pada kolom 7 tabel BPS tsb, komponen Transportasi dijadikan satu dengan yg komponen Komunikasi.
Bagi mereka (konsultan) hitungan indeks transaksi domestik atas harga produsen itu senantiasa sudah baku menggunakan kolom 7 pd tabel BPS sebagai acuan rasio % Biaya Logistik.
Saya bukan konsultan tetapi praktisi pelabuhan dan senantiasa berhadapan dengan mereka di ranah pelabuhan dan di medsos.
Saya melakukan self research sendiri mengenai komponen biaya2 tsb pada perusahaan2 Importer ttg bgmn mereka membukukan komponen Biaya Transportasi pada kolom 7 dimaksud di atas untuk menelusuri di mana sebenarnya titik bias itu terjadi.
Ketidaksepahamannya saya sebagai praktisi pelabuhan dengan konsultan adalah terletak pada:
Pertama, formula Dwelling Time sebagai indikator ukuran gerakan fisik barang.
Kedua, korelasinya dengan % Biaya Logistik pada PDB.
Contoh:
Mereka mengatakan Singapura itu Dwelling Time 1 hari dan Biaya Logistik 10% PDB.
Selanjutnya, Dwelling Time Indonesia yg sebelumnya tinggi lalu akhir2 ini sudah membaik, turun katanya.
Tapi % Biaya Logistik terhadap PDB enggak bergeser turun, cenderung statis, bahkan ada pandangan bbrp pihak malah naik.
Thus, dimana korelasi antara Dwelling Time dan % Biaya Logistik terhadap PDB ?
Ini fakta yg kita bisa lihat ungkapan para Pejabat Pemerintah kepada Presiden di berbagai media.
Di sisi lain, un-official cost yg terjadi di lapangan dicatat pada pembukuan Importir dgn aneka "justifikasi" sebagai kesatuan Biaya Transportasi agar terlihat auditable.
Pemerintah sekarang mulai kulik2 berbagai perangkat peraturan yg ada untuk menurunkan Biaya Logistik berdasarkan paradigma konsultan di atas.
Anda bisa bayangkan enggak, tahun depan pelabuhan kita itu kayak apa jadinya ?
Menurut hemat pandangan saya, Dwelling Time konsultan luar negeri itu hanya mengukur gerak aliran dokumen.
Padahal di ranah pelabuhan itu ada 3 model gerakan, yaitu:
1. Gerakan fisik Kapal
2. Gerakan fisik Barang
3. Gerakan fisik Dokumen
Mengukur Inbound Dwelling Time ini ada banyak dokumen yang digunakan untuk mencatat tanggal awal inap fisik barang dan tanggal akhir inap fisik barang. Tidak hanya dokumen kepabeanan saja tetapi ada banyak dokumen lainnya yang terkait.
Dokumen SPPB adalah dokumen kepabeanan (Customs) yang memberi indikator bahwa barang ybs diizinkan keluar dari Lini 1 pelabuhan.
Gerakan dokumen PIB s/d tanggal dokumen SPPB diterbitkan oleh Bea Cukai itu belum dapat dipastikan fisik barang telah keluar pelabuhan.
Gerakan fisik barang bisa saja dikeluarkan pada H+0, H+1, H+2, atau H+n tergantung lamanya aneka prosedural di instansi lainnya (non Bea Cukai).
Jika misalnya Dwelling Time dinyatakan Customs (Bea Cukai) = 4 hari maka itu bukanlah Dwelling Time. Itu adalah indikator percepatan gerak respon aliran dokumen berdasarkan tanggal terbit SPPB.
Tanggal terbit SPPB tidak dapat dijadikan pedoman sebagai tanggal fisik keluarnya barang dari pelabuhan sehubungan dengan penjelasan aneka H+n dimaksud di atas.
Menurut hemat pandangan saya, terminologi pre clearance, customs clearance dan post clearance tidak cocok digunakan untuk rumusan Dwelling Time.
Di sisi lain, aneka isu container FCL to LCL yang mana 1 container LCL bisa memiliki 3 dokumen SPPB atau sebaliknya 1 dokumen SPPB bisa untuk sekaligus 5 container FCL maka hitungan Dwelling Time menggunakan terminologi Customs bisa bikin pusing pala barbie.
Kondisi sekarang adalah mulai dari pemerintahan pusat s/d sektoral instansi terkait telah dipolakan pemikirannya oleh berbagai konsultan asing dengan terminologi yang tidak tepat untuk mengukur Dwelling Time.
Perhitungan Dwelling Time saya sendiri itu belasan hari untuk Pelabuhan Priok.
Kita perlu klarifikasi ya, dan hanya butuh sekitar 15 s/d 30 hari untuk mengambil sample data terkini di Pelabuhan Priok dan maksimal 3 kapal Ocean Going untuk dijadikan bahan klarifikasi tentang hitungan Dwelling Time di Priok yang sebenarnya yang dapat dijadikan bahan klarifikasi bagi instansi pemerintah termasuk Presiden agar semua menjadi jelas adanya.
Biaya Logistik hanya bisa ditekan dengan penjelasan sebagai berikut:
Biaya Logistik membengkak disebabkan Pelaku Usaha berupaya menjadikan transporternya pergi tidak over tonnage atau pulang kosong (OTnE: Over tonnage n Empty) baik itu di ranah darat atau di ranah laut.
Untuk pemerintah perlu membangun Digitalized Transportation Market Place (DTMP).
Aspek konektivitas Tol Laut perlu ditambahkan dengan DTMP untuk pertimbangan Biaya Logistiknya efisien namun aspek keselamatan transporternya juga terjaga aman.
Adanya campur tangan Pemerintah pada gagasan DTMP ini dapat mempercepat visi DTMP ini terwujud dalam arti yg seluas-luasnya sbgmn OTnE dimaksud di atas.
Elastisitas PSO yg diperoleh dari Pemerintah harus dikelola secara handal dengan tujuan suatu saat Biaya Logistik berfluktuasi menjadi murah, mandiri, dan kalau bisa tidak lagi tergantung PSO karena terjadi kontribusi silang dari maturity age of DTMP.
Secara high level, narasi pola pikir di atas dapat menjawab beberapa keraguan kita akhir2 ini, seperti:
Apa bedanya Kapal Tol Laut dan Kapal Perintis yang membawa komoditi tertentu untuk tujuan ekonomi disparitas harga yang mana kedua kapal tsb dibiayai PSO.
Belum selesai menjawab perbedaan kedua kapal ini, tiba2 muncul kapal ternak membawa sapi dengan tujuan tsb di atas menggunakan PSO yang berefek pada Impor Sapi turun hampir 2% di tahun 2016.
Ini terlihat bagus, tapi tidak ada jaminan kontinuitas ke depannya karena hanya bersifat Quick Win Solution dan bukanlah Corrective Action untuk menekan Biaya Logistik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H