1. Gerakan fisik Kapal
2. Gerakan fisik Barang
3. Gerakan fisik Dokumen
Mengukur Inbound Dwelling Time ini ada banyak dokumen yang digunakan untuk mencatat tanggal awal inap fisik barang dan tanggal akhir inap fisik barang. Tidak hanya dokumen kepabeanan saja tetapi ada banyak dokumen lainnya yang terkait.
Dokumen SPPB adalah dokumen kepabeanan (Customs) yang memberi indikator bahwa barang ybs diizinkan keluar dari Lini 1 pelabuhan.
Gerakan dokumen PIB s/d tanggal dokumen SPPB diterbitkan oleh Bea Cukai itu belum dapat dipastikan fisik barang telah keluar pelabuhan.
Gerakan fisik barang bisa saja dikeluarkan pada H+0, H+1, H+2, atau H+n tergantung lamanya aneka prosedural di instansi lainnya (non Bea Cukai).
Jika misalnya Dwelling Time dinyatakan Customs (Bea Cukai) = 4 hari maka itu bukanlah Dwelling Time. Itu adalah indikator percepatan gerak respon aliran dokumen berdasarkan tanggal terbit SPPB.
Tanggal terbit SPPB tidak dapat dijadikan pedoman sebagai tanggal fisik keluarnya barang dari pelabuhan sehubungan dengan penjelasan aneka H+n dimaksud di atas.
Menurut hemat pandangan saya, terminologi pre clearance, customs clearance dan post clearance tidak cocok digunakan untuk rumusan Dwelling Time.
Di sisi lain, aneka isu container FCL to LCL yang mana 1 container LCL bisa memiliki 3 dokumen SPPB atau sebaliknya 1 dokumen SPPB bisa untuk sekaligus 5 container FCL maka hitungan Dwelling Time menggunakan terminologi Customs bisa bikin pusing pala barbie.
Kondisi sekarang adalah mulai dari pemerintahan pusat s/d sektoral instansi terkait telah dipolakan pemikirannya oleh berbagai konsultan asing dengan terminologi yang tidak tepat untuk mengukur Dwelling Time.
Perhitungan Dwelling Time saya sendiri itu belasan hari untuk Pelabuhan Priok.
Kita perlu klarifikasi ya, dan hanya butuh sekitar 15 s/d 30 hari untuk mengambil sample data terkini di Pelabuhan Priok dan maksimal 3 kapal Ocean Going untuk dijadikan bahan klarifikasi tentang hitungan Dwelling Time di Priok yang sebenarnya yang dapat dijadikan bahan klarifikasi bagi instansi pemerintah termasuk Presiden agar semua menjadi jelas adanya.
Biaya Logistik hanya bisa ditekan dengan penjelasan sebagai berikut:
Biaya Logistik membengkak disebabkan Pelaku Usaha berupaya menjadikan transporternya pergi tidak over tonnage atau pulang kosong (OTnE: Over tonnage n Empty) baik itu di ranah darat atau di ranah laut.
Untuk pemerintah perlu membangun Digitalized Transportation Market Place (DTMP).
Aspek konektivitas Tol Laut perlu ditambahkan dengan DTMP untuk pertimbangan Biaya Logistiknya efisien namun aspek keselamatan transporternya juga terjaga aman.