Berbagai tradisi dalam kehidupan manusia tidak terlepas dari sejarah konflik dan pertarungan yang kadangkala menimbulkan penderitaan dalam kehidupan manusia. Bahkan umur konflik saya yakin hampir sama dengan umur kehidupan manusia itu sendiri.
Di dalam tradisi agama-agama samawi misalnya, konflik selalu digambarkan sebagai perjalanan hidup dari seorang pencerah yang kemudian diklaim sebagai ‘nabi, utusan tuhan, wakil tuhan di bumi. Berbagai cerita yang menghiasi bagaimana seorang utusan Tuhan hidup dalam konflik, pertentangan, penderitaan, hinaan dan intrik disekitaran lingkungan mereka selama mengemban tugas sebagai pembawa pesan (messengger) dapat kita baca dalam buku sejarah dan kitab-kitab samawi yang hingga kini masih bisa ditemukan.
Tuhan mengutus mereka bukan dengan tugas yang ringan. Bahkan, dalam ukuran manusia biasa tugas itu teramat berat jika dipikul oleh manusia sekarang ini. Kita lihat bagaimana dalam tradisi dan keyakinan Islam Nabi Adam diturunkan oleh Allah SWT ke bumi setelah Adam melanggar aturan yang diberikan oleh Allah kepada dirinya agar tidak memakan buah terlarang.
Karena penasaran dan tergoda bujuk rayu setan, lantas Adam dengan sadar memakan buah tersebut dan kemudian diusir Allah ke bumi. Disinilah cikal bakal pengkhianatan umat manusia pertama keli terjadi. Namun, bukan point pengkhianatannya yang mesti kita sorot. Dalam konteks ini pertentangan atau konflik batin selalu melanda manusia yang kemudian menyebabkan dirinya mengambil tindakan yang merugikan dirinya sendiri.
Sebagaimana kisah Adam yang dituliskan dalam kitab Al-Quran. Nabi Adam merupakan contoh faktual yang meyejarah hingga kini bagaimana seorang manusia takluk akan perang batin dalam rangka menjalani kehidupan dan masa depannya.
Akhirnya, konflik itu merembet hingga menyeret Adam secara terpaksa turun ke bumi yang kelak digambarkan sebagai tempat yang penuh dengan derita dan ujian.
Begitupun dengan konflik teraktual manusia di muka bumi dewasa ini. Perang dunia ke I dan ke II merupakan salah satu contoh betapa dahsyatnya konflik batin yang kemudian menyeret jutaan umat manusia di muka bumi ke dalam perang yang mengerikan.
Dibungkus dengan cara apapun perang tetaplah hasil daripada ketidakmampuan individu dalam mengelola konflik batin yang menyandera akal dan pikiran-pikirannya.
Tak ayal kekerasan dan kemudian pembunuhan menjadi langkah utama bagi penikmat konflik untuk memuaskan dahaga dan kerakusan untuk menguasai, mendapatkan dan mempertahankan sebuah keyakinan maupun kekuasaan.
Perang itu sendiri bisa bermotif macam-macam—mulai dari wanita, harta, tahta, ideologi, harga diri, kekuasaan, dendam dan beragam motif lain yang menguasai pikiran indidvidu itu sendiri.
Bagaimana dengan Indonesia?? Sejarah berbagai peradaban dunia pun hampir mirip dengan sejarah yang terjadi di Indonesia. Berbagai kemelut dan perang antar manusia nusantara menghiasi babakan sejarah yang dilalui oleh bangsa Indonesia.
Dimulai pada masa kerajaan-kerajaan nusantara yang penuh dengan konflik baik internal dan eksternal. Konflik untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan. Konflik yang timbul karena merebutkan wanita atau pria.
Konflik yang timbul karena dendam keturunan dan konflik lain yang menjadi landasan perang dan penghancuran terhadap sebuah kerajaan. Singkatnya, sejarah peradaban nusantara dihiasi konflik yang beraneka macam latar belakangnya.
Begitupula dengan yang terjadi pada masa kemerdekaan Indonesia di awal-awal tahun 1945 hingga 1965. Berbagai macam konflik yang melatarbelakangi perjalanan sejarah kemerdekaan Indonesia memayungi Indonesia sebagai sebuah bangsa yang baru lahir ke muka bumi.
Konflik yang berlatarbelakang dari sebuah ideologi yang kemudian meruncing menjadi perdebatan agama antara Islam dan nasionalisme menghiasi babakan sejarah Indonesia terutama ketika rapat-rapat pembentukan kemerdekaan Indonesia (sidang-sidang BPUPKI).
Antara Islam dan kelompok nasionalisme saling berdebat satu sama lain untuk menggolkan ideologi dan keyakinan masing-masing. Islam yang diwakili M. Natsir dan kubu nasionalis yang diwakili Soekarno terus memperdebatkan dasar negara Republik Indonesia.
Bagi kubu Islam, sebagai mayoritas di Indonesia—sepantasnya jika Indonesia berdasar pada Islam sebagai asas dan landasan idiil negara ini.
Sebab, seluruh masyarakat Indonesia beragama Islam. Namun, bukan berarti Islam sebagai mayoritas kelak menindas kaum minoritas. Sebab, Islam merupakan agama yang mengajarkan cinta kasih kepada sesama manusia, dan menganggap derajat manusia sama hanya yang membedakannya ialah ketaqwaan.
Namun, argumen itu ternyata tidak bisa diterima oleh kalangan nasionalis dikarenakan bangsa Indonesia majemuk dan tidak bisa dihegemoni oleh sebuah ajaran keyakinan apalagi agama.
Silang pendapat itu terus berkembang hingga kemudian digalilah Pancasila sebagai win-win solution untuk meredam konflik yang tentunya bisa berdampak serius pada kemerdekaan yang baru saja didapatkan.
Pancasila kemudian lahir dan diamini sebagai sebuah jalan keluar agar kerangka dasar pembentukan negara ini terlihat kental—tidak teokratis namun juga tidak terlalu sekuler. Pancasila kemudian dipropagandakan sebagai ideologi yang mempersatukan berbagai perbedaan keyakinan, agama dan ideologi bangsa Indonesia.
Namun, konflik terus mendera dan menghasilkan sebuah kebangkrutan ekonomi Indonesia yang cukup parah. Krisis politik berimbas pada tatanan ekonomi dan sosial masyarakat ketika itu. Masa paceklik di bawah kepemimpinan Soekarno membuat derita jutaan rakyat Indonesia kelaparan dan hidup dalam kesulitan yang kian hari kian menyedihkan.
Politik sebagai panglima melahirkan kemiskinan ketika itu. Berbagai propaganda terkait ide-ide bung Karno soal ideologi Nasakom dan Marhaen serta bentuk pikiran-pikiran Bung Karno melahirkan generasi yang sulit dan kebutuhan hidupnya tidak terpenuhi. Belum lagi ancaman disintegrasi yang terjadi dari berbagai daerah semakin massif dan menguras perhatian elit bangsa ketika itu.
Belajar dari konflik
Berbagai kisah dalm sejarah hidup manusia diatas setidaknya menjadi pengingat jika konflik dan kemudian dilanjutkan dengan perang yang tak sedikit meminta korban jiwa dan harta—merupakan sebuah jalan dari takdir kehidupan manusia yang serba kompleks terutama di masa kita sekarang ini.
Konflik merupakan sarana untuk mengungkap sebuah eksistensi dari sisi lain psikologis manusia yang cenderung mengagungkan kekerasan dan amarah sebagai langkah dalam menyelesaikan sebuah persolan yang menderanya.
Hal ini amat diwajarkan mengingat di dalam diri manusia ada ‘nafsu’ yang setidaknya mempengaruhi akal serta pikirannya dalam memandang kehidupan dunia. Nafsu itu sendiri ada dua, ada nafsu yang sifatnya positif dan nafsu yang cenderung ke arah negatif.
Misalnya, nafsu positif itu bisa diartikan sebagai sebuah ambisi dan cita untuk mendapatkan sebuah impian yang diinginkannya. Misalnya, ingin menjadi seorang dokter, insinyur, pengusaha, presiden dan lainnya.
Maka, berangkat dari nafsu yang positif tersebut—individu itu bekerja keras, belajar dan bersungguh-sungguh untuk mengejar citanya. Sedang nafsu yang negatif merupakan kebalikan dari segala yang baik dari nafsu positif.
Nafsu jenis ini merupakan hasil dari kualitas manusia yang paling terendah dan (sengaja) menjauhi sifat-sifat Tuhan yang melekat dalam diri seorang hambaNya. Apabila seorang individu menjadikan nafsu jenis ini sebagai sandaran dalam kehidupannya—maka pesan Machiavelli seorang pemikir abad pertengahan akan dijadikannya sebagai tuntunan dalam meraih impian dan cita-citanya.
“Tujuan menghalalkan cara” merupakan idiom yang dijadikan panglima dalam kesehariaanya. Menginisiasi sebuah lingkungan dengan cara ‘mengkayakan konflik’ demi untuk mencapai tujuannya.
Menghalalkan fitnah, intrik, propaganda hitam dan mengadu domba antar satu sama lain merupakan cara yang diamini sekaligus dibanggakan oleh kualitas manusia jenis ini.
Karena itu, tidaklah mengherankan jika manusia jenis ini memegang kendali atas kehidupan manusia yang berbalik dari nafsu-nafsu kebinatangan manusia.
Dalam konteks Indonesia misalnya, berbagai konflik yang terjadi tak ayal karena individu-individu tersebut dikangkangi dengan sifat binatang yang mendominasi pikirannya. Mereka lebih suka berkonflik dan memakan satu sama lain (kanibalisme) untuk melanggengkan kekuasaan atau mempertahankannya.
Akal dan nalar sehat dijadikan topeng untuk mengkampanyekan jalan kekerasan dan menutupi jati diri manusia binatang dalam kadar yang begitu menjijikan ini.
Alhasil, Indonesia menjadi ramah dengan segala bentuk kekerasan, mentolerir korupsi dan melanggengkan perbudakan dari bangsa asing. Nafsu jenis ini yang kemudian memayungi perjalanan bangsa kita sejak reformasi bergulir.
Seolah tak ada lagi jalan keluar dan ruang untuk memberikan nafsu yang positif dalam diri individu para elit bangsa kita.
Karenanya, konflik selain memberikan jutaan korban akibat perang dan kekerasan—di sisi lain konflik melahirkan sebuah generasi baru yaitu generasi yang belajar bahwa perang yang kemudian memberi darah, air mata, kesulitan, penderitaan, kemiskinan dan kelaparan—di balik itu terdapat sebuah pembelajaran berharga jika dari konflik itulah manusia saling menguatkan satu sama lain.
Selain itu, generasi ini akan melihat dan mempelajari bahwa dalam sebuah konflik dan perang selalu saja ada mereka yang oportunis, pragmatis, pengkhianat, mereka yang berkarakter petarung, pejuang, loyal dan pemimpin sejati.
Maka, dari sinilah konflik tersebut mendapat penilaiaan positif karena tidak melulu konflik mesti ditutup-tutupi. Terlebih, konflik tak harus dijadikan sebuah penilaiaan ‘gagalnya’ sebuah generasi dalam memberikan catatan positif di masanya, sebab dengan adanya konflik yang terjadi pada masanya, mereka yang akan datang sesudahnya kelak belajar dari konflik dan tidak mengulang sejarah karena banyak belajar dari konflik tersebut.
Dari konteks itulah pembelajaran berharga sekaligus ucapan terima kasih mesti dilayangkan kepada generasi manusia sebelumnya yang mengajarkan sebuah nilai positif dari konflik atas apa yang terjadi pada massa mereka.
Ketua Umum BADKO HMI JABOTABEKA-BANTEN
(isi tulisan merupakan pendapat pribadi)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H