Misalnya, nafsu positif itu bisa diartikan sebagai sebuah ambisi dan cita untuk mendapatkan sebuah impian yang diinginkannya. Misalnya, ingin menjadi seorang dokter, insinyur, pengusaha, presiden dan lainnya.
Maka, berangkat dari nafsu yang positif tersebut—individu itu bekerja keras, belajar dan bersungguh-sungguh untuk mengejar citanya. Sedang nafsu yang negatif merupakan kebalikan dari segala yang baik dari nafsu positif.
Nafsu jenis ini merupakan hasil dari kualitas manusia yang paling terendah dan (sengaja) menjauhi sifat-sifat Tuhan yang melekat dalam diri seorang hambaNya. Apabila seorang individu menjadikan nafsu jenis ini sebagai sandaran dalam kehidupannya—maka pesan Machiavelli seorang pemikir abad pertengahan akan dijadikannya sebagai tuntunan dalam meraih impian dan cita-citanya.
“Tujuan menghalalkan cara” merupakan idiom yang dijadikan panglima dalam kesehariaanya. Menginisiasi sebuah lingkungan dengan cara ‘mengkayakan konflik’ demi untuk mencapai tujuannya.
Menghalalkan fitnah, intrik, propaganda hitam dan mengadu domba antar satu sama lain merupakan cara yang diamini sekaligus dibanggakan oleh kualitas manusia jenis ini.
Karena itu, tidaklah mengherankan jika manusia jenis ini memegang kendali atas kehidupan manusia yang berbalik dari nafsu-nafsu kebinatangan manusia.
Dalam konteks Indonesia misalnya, berbagai konflik yang terjadi tak ayal karena individu-individu tersebut dikangkangi dengan sifat binatang yang mendominasi pikirannya. Mereka lebih suka berkonflik dan memakan satu sama lain (kanibalisme) untuk melanggengkan kekuasaan atau mempertahankannya.
Akal dan nalar sehat dijadikan topeng untuk mengkampanyekan jalan kekerasan dan menutupi jati diri manusia binatang dalam kadar yang begitu menjijikan ini.
Alhasil, Indonesia menjadi ramah dengan segala bentuk kekerasan, mentolerir korupsi dan melanggengkan perbudakan dari bangsa asing. Nafsu jenis ini yang kemudian memayungi perjalanan bangsa kita sejak reformasi bergulir.
Seolah tak ada lagi jalan keluar dan ruang untuk memberikan nafsu yang positif dalam diri individu para elit bangsa kita.
Karenanya, konflik selain memberikan jutaan korban akibat perang dan kekerasan—di sisi lain konflik melahirkan sebuah generasi baru yaitu generasi yang belajar bahwa perang yang kemudian memberi darah, air mata, kesulitan, penderitaan, kemiskinan dan kelaparan—di balik itu terdapat sebuah pembelajaran berharga jika dari konflik itulah manusia saling menguatkan satu sama lain.
Selain itu, generasi ini akan melihat dan mempelajari bahwa dalam sebuah konflik dan perang selalu saja ada mereka yang oportunis, pragmatis, pengkhianat, mereka yang berkarakter petarung, pejuang, loyal dan pemimpin sejati.
Maka, dari sinilah konflik tersebut mendapat penilaiaan positif karena tidak melulu konflik mesti ditutup-tutupi. Terlebih, konflik tak harus dijadikan sebuah penilaiaan ‘gagalnya’ sebuah generasi dalam memberikan catatan positif di masanya, sebab dengan adanya konflik yang terjadi pada masanya, mereka yang akan datang sesudahnya kelak belajar dari konflik dan tidak mengulang sejarah karena banyak belajar dari konflik tersebut.
Dari konteks itulah pembelajaran berharga sekaligus ucapan terima kasih mesti dilayangkan kepada generasi manusia sebelumnya yang mengajarkan sebuah nilai positif dari konflik atas apa yang terjadi pada massa mereka.
Ketua Umum BADKO HMI JABOTABEKA-BANTEN
(isi tulisan merupakan pendapat pribadi)