Konflik yang berlatarbelakang dari sebuah ideologi yang kemudian meruncing menjadi perdebatan agama antara Islam dan nasionalisme menghiasi babakan sejarah Indonesia terutama ketika rapat-rapat pembentukan kemerdekaan Indonesia (sidang-sidang BPUPKI).
Antara Islam dan kelompok nasionalisme saling berdebat satu sama lain untuk menggolkan ideologi dan keyakinan masing-masing. Islam yang diwakili M. Natsir dan kubu nasionalis yang diwakili Soekarno terus memperdebatkan dasar negara Republik Indonesia.
Bagi kubu Islam, sebagai mayoritas di Indonesia—sepantasnya jika Indonesia berdasar pada Islam sebagai asas dan landasan idiil negara ini.
Sebab, seluruh masyarakat Indonesia beragama Islam. Namun, bukan berarti Islam sebagai mayoritas kelak menindas kaum minoritas. Sebab, Islam merupakan agama yang mengajarkan cinta kasih kepada sesama manusia, dan menganggap derajat manusia sama hanya yang membedakannya ialah ketaqwaan.
Namun, argumen itu ternyata tidak bisa diterima oleh kalangan nasionalis dikarenakan bangsa Indonesia majemuk dan tidak bisa dihegemoni oleh sebuah ajaran keyakinan apalagi agama.
Silang pendapat itu terus berkembang hingga kemudian digalilah Pancasila sebagai win-win solution untuk meredam konflik yang tentunya bisa berdampak serius pada kemerdekaan yang baru saja didapatkan.
Pancasila kemudian lahir dan diamini sebagai sebuah jalan keluar agar kerangka dasar pembentukan negara ini terlihat kental—tidak teokratis namun juga tidak terlalu sekuler. Pancasila kemudian dipropagandakan sebagai ideologi yang mempersatukan berbagai perbedaan keyakinan, agama dan ideologi bangsa Indonesia.
Namun, konflik terus mendera dan menghasilkan sebuah kebangkrutan ekonomi Indonesia yang cukup parah. Krisis politik berimbas pada tatanan ekonomi dan sosial masyarakat ketika itu. Masa paceklik di bawah kepemimpinan Soekarno membuat derita jutaan rakyat Indonesia kelaparan dan hidup dalam kesulitan yang kian hari kian menyedihkan.
Politik sebagai panglima melahirkan kemiskinan ketika itu. Berbagai propaganda terkait ide-ide bung Karno soal ideologi Nasakom dan Marhaen serta bentuk pikiran-pikiran Bung Karno melahirkan generasi yang sulit dan kebutuhan hidupnya tidak terpenuhi. Belum lagi ancaman disintegrasi yang terjadi dari berbagai daerah semakin massif dan menguras perhatian elit bangsa ketika itu.
Belajar dari konflik
Berbagai kisah dalm sejarah hidup manusia diatas setidaknya menjadi pengingat jika konflik dan kemudian dilanjutkan dengan perang yang tak sedikit meminta korban jiwa dan harta—merupakan sebuah jalan dari takdir kehidupan manusia yang serba kompleks terutama di masa kita sekarang ini.
Konflik merupakan sarana untuk mengungkap sebuah eksistensi dari sisi lain psikologis manusia yang cenderung mengagungkan kekerasan dan amarah sebagai langkah dalam menyelesaikan sebuah persolan yang menderanya.
Hal ini amat diwajarkan mengingat di dalam diri manusia ada ‘nafsu’ yang setidaknya mempengaruhi akal serta pikirannya dalam memandang kehidupan dunia. Nafsu itu sendiri ada dua, ada nafsu yang sifatnya positif dan nafsu yang cenderung ke arah negatif.