FOMO, akronim dari Fear of Missing Out, istilah ini sering muncul di media dan viral.
Pertama kali saya mengenal istilah ini adalah beberapa tahun yang lalu.
Pada waktu itu diberitakan di media bahwa muncul fenomena FOMO di Facebook.
Jika teman-teman di medsos itu selalu mengikuti postingan teman-temannya, maka mereka selalu mengikutinya.
Jika tidak demikian, maka mereka akan dianggap tidak solider kepada temannya.
Jika mereka memposting sesuatu, maka FOMO ini muncul, selalu memperhatikan postingannya itu agar tidak ada yang terlewat.
Berkaitan dengan ikut-ikutan ini, menarik apa yang diungkapkan oleh OJK (Otoritas Jasa Keuangan).Â
Bahwa banyak orang muda yang terjerat utang akibat FOMO.
Hal tersebut dikatakan oleh Friderica Widyasari Dewi, Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK.
"Anak muda kepingin banyak gaya (hingga bahkan berutang banyak)," kata Friderica, Jum'at (8/11/2024), di The Westin Resort, Nusa Dua, Bali, di sela-sela acara OECD/INFE-OJK Conference.
Lebih lanjut Friderica mengatakan adanya gadget menjadi penyebab anak-anak muda semakin mudah klak-klik di HP nya tanpa sepengetahuan orangtuanya.
Yang lain membeli barang-barang seperti gadget teranyar, pakaian model baru, atau barang lainnya, anak muda tak mau ketinggalan, mereka ikut-ikutan membeli barang-barang itu.
Padahal belum tentu barang-barang itu yang sangat diperlukan sebagai prioritas, hanya sekedar FOMO saja.
Apa yang dikatakan oleh Friderica tersebut saya rasa sama saja dengan fenomena yang tengah tren sekarang ini, yaitu doom spending.
Karena FOMO dan mudahnya fasilitas HP anak-anak muda tinggal klak klik saja di HP nya memesan barang bahkan berlebihan hingga bahkan sampai berutang.
Setelah berutang, tentunya ini menjadi beban bagi si anak muda itu.Â
Mereka depresi dikejar debt collector.
Jangan dikira aktivitas pelunasan utang dan penundaan nya tidak diketahui.Â
Segala aktivitas itu terekam di Sistem Layanan Informasi Konsumen (SLIK).
Lanjut Friderica, fenomena ini nantinya akan berdampak jika si anak muda itu akan mengajukan utang lagi, kredit rumah, atau melamar pekerjaan, sudah tidak bisa karena mereka sudah masuk dalam SLIK.
"Anak-anak muda ini harus diselamatkan," katanya.
Untuk langkah penyelamatan itu, Friderica meminta para penyedia platform untuk menggencarkan edukasi keuangan ke segala lapisan masyarakat.
Jangan sampai menyesal nantinya, si anak nantinya tidak bisa sekolah karena boros, tidak bisa mengelola uang, ujung-ujungnya orangtuanya yang disalahkan.
Miris memang fenomena doom spending (mirip dengan apa yang diungkapkan Friderica) yang menjangkiti anak-anak muda tersebut.
Mereka belanja karena stres dan dengan belanja itu mereka berupaya menghilangkan stres itu.
Mereka FOMO melihat teman-temannya belanja.
Dengan kecanduan, takut ketinggalan teman-temannya, dan stres membuat mereka secara tidak sadar terus belanja, tanpa peduli barang itu prioritas atau bukan.
Tahu-tahu mereka menangis karena terjerat utang.
Bila diterjemahkan "doom" ini bermakna ujung-ujungnya menyesal.
Sedangkan "spending" adalah berbelanja.
Sama seperti apa yang diungkapkan oleh Friderica tadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H