Mohon tunggu...
Rudolf W
Rudolf W Mohon Tunggu... Seniman - Robot pekerja.

Hobi olahraga.

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Hey Jude, Maju Pilkada Tak Hanya Butuh Modal "Dekengan Pusat"

20 Agustus 2024   15:27 Diperbarui: 21 Agustus 2024   08:57 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Baliho Dico M Ganinduto yang terpasang di pinggir jalan di Kota Semarang./dok. pri

Hey Jude, don't make it bad.
Take a sad song and make it better.
Remember to let her into your heart,
Then you can start to make it better.

SEPENGGAL bait lirik lagu The Beatles dengan judul "Hey Jude" saya pakai untuk mengawali tulisan, karena saat saya hendak menulis agak kesulitan untuk mengawali kata-kata dalam membuat esai tentang peta politik jelang Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota (Pilwakot) Semarang yang akan dilaksanakan 27 Novemver 2024 mendatang.

Setelah saya mendengarkan lagu tersebut, saya seakan mendapat inspirasi, untuk membuat surat terbuka bagi salah satu bakal calon Wali Kota Semarang, Dico M Ganinduto yang saat ini masih menjabat sebagai Bupati Kendal.

Hey Jude.. awalnya akan saya ganti menjadi Hey Dico.. sebagai kalimat awal untuk surat terbuka tersebut.

Namun, setelah saya pikir-pikir, untuk apa saya membuat surat terbuka. Toh juga belum tentu dibaca oleh beliaunya. Akhirnya saya memutuskan untuk menulis uneg-uneg saya sebagai warga Kota Semarang, dan sedang resah melihat peta politik jelang Pilwakot Semarang.

Kenapa saya resah, karena dinamika politik di kota ini kian memanas. Hal itu setelah salah satu calon wali kota jagoan saya, Hevearita Gunaryanti Rahayu belum lama ini tersangkut masalah hukum yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 

Namun hingga kini tak ada juntrungannya, alias kasusnya mengambang. Padahal, KPK dengan banyak personelnya telah melakukan penggeledahan di hampir seluruh dinas dan kecamatan di Pemkot Semarang, selama kurang lebih sepekan.

Apa hasilnya? Saya malas untuk membahas hasil, karena memang sampai saat ini belum ada kepastian hukumnya.

Singkatnya, banyak orang yang menganggapnya ini hanya upaya penjegalan agar Mbak Ita, sapaan akrab Hevearita Gunaryanti Rahayu agar tak maju di Pilwakot Semarang. 

Meski ini sementara hanya jadi asumsi saya, namun diamini juga oleh beberapa kawan dan rekan. Apalagi kala itu, Mbak Ita dan Yoyok Sukawi selalu mendominasil survei dari beberapa lembaga. 

Dua nama tokoh asli Semarang ini sebenarnya memiliki kans yang sama-sama kuat untuk bersaing sebagai calon wali kota di Pilwakot Semarang, memiliki modal popularitas, elektabilitas baik, dan kepuasan masyarakat sangat tinggi. 

Mereka berdua, Mbak Ita dari PDIP dan Yoyok Sukawi dari Demokrat, juga merupakan tokoh-tokoh yang memiliki bassis massa yang kuat di Kota Semarang.  

Di saat kasus Mbak Ita ini muncul, sekonyong-konyong datang Dico M Ganinduto, sang Bupati Kendal yang semula hendak maju di Pilgub Jateng, kemudian berniat menjadi calon wali Kota Semarang. 

Dico, selama ini dikenal sebagai politisi muda, anak petinggi partai besar di Indonesia. Dia memiliki jaringan yang cukup baik di elite politik tingkat pusat, baik di partai politik maupun di pemerintahan.

Dico mulai bermanuver dalam stretegi merebut simpatik masyarakat. Balihonya ada di mana-mana, dengan wajah tersenyum yang misterius. Dico memang terlihat agresif dalam skema ini, dan kemudian Partai Golkar dan PSI mendeklarasikan akan mengusung dia di Pilwakot Semarang. 

Kedatangan Dico ini memang agak mengejutkan, dan mengubah peta politik karena beberapa partai yang sebenarnya sudah hampir sepakat koalisi, kemudian mengubah arah. Apalagi konon, Dico ini memiliki dekengan pusat yang kuat.

Namun menurut saya, untuk maju sebagai calon wali kota, apalagi di Kota Semarang yang tingkat pendidikan dan pemahaman politik masyarakatnya cukup baik, tidak cukup hanya mengandalkan dukungan dari pusat. Calon harus memiliki kombinasi modal elektabilitas, popularitas, kapasitas, dan modal kapital yang besar, serta tidak boleh mengabaikan harapan dan suara masyarakat.

Dukungan pusat dari partai politik sering kali dianggap sebagai faktor kunci dalam memenangkan pilkada. Memang, memiliki jaringan yang kuat di tingkat pusat dapat memberikan keuntungan tersendiri, seperti akses terhadap sumber daya, dana, dan dukungan logistik. 

Namun, dalam praktiknya, dukungan tersebut tidaklah cukup jika calon tidak memiliki dasar yang kuat di masyarakat. Modal elektabilitas dan popularitas yang tinggi merupakan syarat mutlak untuk bisa bersaing dengan calon lain, terutama di wilayah yang memiliki basis suara yang solid seperti Semarang. Tokoh-tokoh yang sudah dikenal "ngopeni massa" lebih lama, tentu memiliki peluang lebih besar memenangkan kontestasi politik ini.

Berdasarkan survei yang dilakukan menjelang pilkada, kita dapat melihat bahwa pemilih semakin cerdas dan kritis dalam menentukan pilihan. Mereka tidak hanya mempertimbangkan identitas partai, tetapi juga sosok calon dan rekam jejaknya.

Selain elektabilitas dan popularitas, modal kapital juga menjadi faktor penting yang tidak bisa diabaikan. Dalam dunia politik, dana sering kali diperlukan untuk kampanye, promosi, dan kegiatan-kegiatan yang mendukung pencalonan. 

Namun, penggunaan modal kapital harus dilakukan dengan bijak. Calon yang hanya mengandalkan kekuatan finansial tanpa memperhatikan kualitas program dan hubungan dengan masyarakat berisiko kehilangan dukungan. Masyarakat kini lebih peka terhadap praktik politik yang tidak transparan dan cenderung memilih calon yang memiliki integritas.

Dalam konteks yang semakin kompleks ini, kemenangan dalam Pilwakot Semarang tidak hanya ditentukan oleh kekuatan partai, tetapi juga oleh kemampuan calon dalam beradaptasi dengan kebutuhan masyarakat.

Maju di Pilwakot Semarang 2024, tidak cukup hanya dengan mengandalkan modal dukungan dari pusat. Calon harus memiliki kombinasi modal yang kuat, serta mampu mendengar dan merespons aspirasi masyarakat. Dalam dunia politik yang terus berubah, keberhasilan seorang calon akan sangat bergantung pada kemampuannya dalam membangun hubungan yang baik dengan masyarakat dan menawarkan solusi yang relevan.

Dengan pendekatan yang tepat, calon wali kota yang berorientasi pada rakyat berpotensi untuk meraih kemenangan dan membawa perubahan positif bagi Kota Semarang. Apalagi, calon yang memang sudah sejak awal dikenal dan memiliki kedekatan dengan masyarakat. Bukan sekonyong-konyong datang untuk meminta dukungan dengan janji-janji manis dan back-up "dekengan pusat".

Dan pesan pada bait pertama lagu The Beatles jika diterjemahkan dengan bahasa Indonesia kelas amatiran kira-kira seperti ini:

Hei Jude, jangan perburuk keadaan.
Nyanyikanlah lagu sedih dan perbaikilah.
Ingatlah tuk biarkan dia merasuk pada hatimu.
Lalu kau bisa mulai memperbaiki hal ini.
(*)

Semarang, 20 Agustus 2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun