Dimensi Sosial
Mendengar istilah urbanisasi, pikiran kita langsung tertuju aktifitas masyarakat pinggiran kota, atau pedesaan berbondong menuju kota. Dari sini kita bisa menarik kesimpulan bahwa kosentrasi penduduk akan sedikit bergeser dari desa ke kota. Jika sudut pandang yang selama ini kita pahami adalah sebuah mobilisasi masyarakat desa ke kota, hal itu tidak salah. Karena memang secara empiris, kita memadang dari dimensi demografis.
Namun persoalan urbanisasi tidak hanya masalah demografi semata, ia adalah masalah multidimensi sosial, politik, ekonomi, modernisasi dan legal.
Dimensi sosial memandang urbanisasi sebagai bentuk pencarian jati diri urban. Pencarian jati diri ini terkait status sosial kaum urban. Suatu kebanggaan bagi mereka jika status urban, marginal, dan kampung, kemudian berubah menjadi orang kota.
Hal tersebut menjadi sebuah perilaku yang masive karena beberapa faktor pendorong. Faktor tersebut umumnya dikarenakan ritme kehidupan di desa lebih lambat (tidak mengalami perubahan).
Sementara kaum urban ingin keluar dari jeratan kemiskinan abadi di desa karena produk pertanian semakin kalah tergerus oleh produk-produk berteknologi sentuhan perkotaan.
Dorongan sosial semakin menjadi manakala budaya hedon begitu masif ditayangkan melalui hiburan siaran televisi. Masivitas tayangan ini pun semakin melegitimasi mindset berpikir mereka akan hedonisme.
Daya Tarik Kota
Jika dimensi sosial banyak disebabkan oleh dorongan pencarian jati diri, maka dari sisi dimensi ekonomi urbanisasi adalah manifestasi sebuah ketimpangan.
Ketimpangan ini dipicu oleh tidak meratanya pendapatan ekonomi perkotaan dan pedesaan. Lapangan pekerjaan yang semakin sempit di pedesaan, sementara mereka adalah produk pendidikan dengan kurikulum kota. Sementara itu daya tarik kota (Surabaya) di mata mereka sangat menggiurkan. Legenda kota yang dipandang bisa mengubah nasib mereka masih dipercaya.