Mohon tunggu...
M Rudi Kurniawan
M Rudi Kurniawan Mohon Tunggu... Mahasiswa -

FEB UI'12 | Alumnus PP Al-Amin Mojokerto

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Angkuh, Sayang.

29 Juli 2015   10:59 Diperbarui: 11 Agustus 2015   21:52 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

“Ya, begini saja, siksa kami! Kami amat haus dengan tangan besimu. Pukul kami! Injak kepala kami! Siksamu menjelma candu. Kami belum puas. Hancurkan kami, tindaslah kami, aniaya kami Tuan! Bikin kami LUMPUH, LUMPUH, LUMPUH!!” kata Cinta kepada Benci."

***

     Bisa saja kau katakan dahulu kala, dewasa ini, atau sinonim waktu kapan saja, asal jangan gunakan waktu yang akan datang. Telah dinisbatkan pada suatu negeri tentang apa yang dapat kamu sebut keberagaman dan cinta. Negeri dimana kekayaannya dapat kamu jumpai dari atas, bawah, samping, depan, pun dari belakang. Negeri yang dapat memberi nafas lewat tongkat, bongkahan tanah, bahkan hamparan air berasa anyir sekalipun. Benar bahwa surga telah dibocorkan Tuhan ke negeri ini.

“Bung, surga memang telah bocor. Aku melihat tetesannya merembes ke setiap permukaan negeri kita, negeri yang boleh kita dongengkan masing-masing dengan skenario, intonasi dan aktor yang kita pilih. Suka-sukamu, suka-sukaku.” Ujar seorang kapiten, teman dekatku.

      Kapiten bernama lengkap Simala Kamal, seorang karibku, memang tak pernah berkata bohong. Nyatanya, kekayaan negeri ini terlalu sayang untuk tak diekploitasi. Sang Dalang pewayangan negeri ini terlalu lincah memainkan lakon-lakonnya, mengendalikan gerak-gerik mereka dengan bekal skenario. Maka akan coba ku ceritakan padamu, tentang sekelumit skenario yang berlaku dalam negeriku, negeri tercinta, masyhur sebagai nama Embonetia.

***

    Beberapa gerombol orang, dalam sudut ruang masing-masing. Kelompok demi kelompok, meneriakkan kalimat-kalimat tersebutlah ayat yang katanya dititipkan Tuhan kepada kelompok mereka. Suara ribut bersautan, menerobos gendang telinga orang lain, menggema dalam ruang, sampai masuk lagi ke daun telinga. Berulang, entah penuh semangat atau emosi.

      Menyatakan diri utusan Tuhan, diseranglah Tuhan yang lain. Tak cukup Tuhan lain yang mereka bunuh. Akar-akar rerumahan tak bersalah diberantas, pakaian lusuh tak berharga mereka bakar, kertas-kertas kuno yang bahkan terlupakan pun mereka ludahi. Demi yang diyakini Tuhan, tumbanglah Tuhan yang lain, satu per satu.

    Gerombolan wargaku mengatasnamakan Embonetia, kerap disapa Embo, berdiri siang dan malam di tepian. Terlihatlah bendera lain, lalu mereka lempari sekenanya mulai dengan tahi sampai dengan bom bernyala api. Sekenanya! Berangkat dari Negara, membela Negara, memusnahkan Negara lain. Hanya demi tegaknya Negara.

      Kumpulan lain memilih asas keadilan. Menegakkan keadilan semau dengkulnya melangkah. Begitu bernafsu namun was-was. Terancamlah keadilan mereka oleh keadilan saudaranya. Keadilan dirobohkan, ya, memang harus mereka robohkan sampai pada akar keadilan itu. Kalaupun ada keadilan dalam otak yang lain, maka keadilan kumpulan superior ini tak dapat memungut keadilannya untuk dikibarkan diatas luka orang lain. Hahaha keadilan rupanya sibuk mengadili keadilan yang lain.

      Oh ternyata aku baru menemukan beberapa hari yang lalu, sama. Ah tapi kiranya berbeda lah, walau takaran mengatakan setitik saja. Lalu kelompok yang lain memungut gilirannya. Mereka bersatu, baik visi, misi dan bahkan mimpi. Himpun segala yang bisa dihimpun untuk menggumpal menjadi satu. Jangan sampai tersua keretakan sedikit saja diantara kelompok ini. Mereka terus mempertahankannya dengan lem-lem sosial yang kadang tak logis. Kagetlah mereka saat menemukan gumpalan yang lain. “Wah, bahaya! Mereka bersatu, kepentingannya merebut lem kita. Menggerogoti sendi-sendi persatuan kita!” ujar aktor gumpalan pertama pada sarwa telinga teman seperjuangan. Gumpalan ini berlari, sekencang-kencangnya. Ditendanglah persatuan, gumpalan yang lain. “Tak akan tersua persatuan didalam persatuan. Hahaha!” pekiknya lantang. (Persatuan lain telah tertelan bumi)

***

      Tererak aku dengan gerombolan-gerombolan itu. Maka aku berhijrah, aku lari dari kampungku. Berpindah ke seberang pulau sana, lalu kutemukanlah kampung sederhana, tak berjebah warna dalam kepala mereka. Mereka menjadi monoton, aktifitas yang sama akan selalu dilakukan orang yang sama pada waktu yang sama dan rentang periode yang sama, sama, sama serba sama. Aku lega melihat ketentraman kampung ini, kali ini tempatku berpijak dapat kukatakan benar. Lalu kunyanyikan senandung bahagia di kampung yang tak mengenal tembang ini, sampai datang lelapku.

      Kejutku pada mentari pagi, aku terkepung orang-orang kampung ini. Tatapan mereka menganiayaku. Lontaran kata-kata mereka tak dapat kumengerti kenapa. Jelas ku cerna bahwa aku tak diterima. Tuhan, aku hanya ingin hidup damai dari gerombolan-gerombolan yang kutemui di kampungku. Tapi kenapa harus perdamaian mereka yang menepikan aku? Kenapa nyawa harus menjadi ancaman mereka untuk memonopoli perdamaian? Sudahlah, tak perlu kau jawab dulu Tuhan. Aku akan kembali kedalam pelukan kampungku. Aku telah amat rindu dengan nasihat ibuku. Biarlah aku pulang.

***

      Tarikh demi tarikh berlalu, gerombolan yang dahulu bersatu dengan memakan persatuan gerombolan lain itu kini terlihat akrab. Tak ada lagi kegaduhan kutemui di tanah lahirku ini. Setidaknya sampai aku duduk berhadapan dengan ibuku, menyantap sepiring sarapan pagi dengan piring pada tangan kiri sembari tangan kanan menyuap jumput demi jumput.

“Nak, apakah kamu telah mendapat dengar bahwa negeri seberang telah menapakkan jemarinya di Ibukota Embonetia?”

“Tidak Bu. Gerangan apa mereka lakukan di Ibukota?”

“Katanya mereka mau berdagang nak. Tapi entahlah bagaimana ceritanya mereka bertindak seingin nafsunya sendiri. Maafkan aku nak, telah melahirkanmu di Embonetia.”

“Kenapa Bu? Apa yang membuat orang terkasihku bergumam demikian?”

“Mereka ingin kemerdekaan, Le.

“Apa yang salah dengan kemerdekaan Bu? Kan itu telah digenggamkan Tuhan di tangan mereka, kemerdekaan. Itu wajar Bu.”

“Kau memang benar tak mendapat dengar, Nak. Mereka menginginkan kemerdekannya dengan menghapuskan kemerdekaan Embonetia. (ucapnya terisak ketika bulir bening merembes atas pipinya).”

(Ku rengkuh tubuh ibuku, bulir bening tak kuasa dan memaksa keluar di sudut kelopakku)

***

      Kemerdekaan semulia itu ternyata tak dapat kemutlakan dari mulia. Aku termenung, membaca koran pagi yang tak henti diantarkan Pak Sumarno setiap kali sinar mentari sampai di halaman rumahku. Halaman demi halaman hitam putih kusingkap. Begitu banyak berita disajikan tiap harinya tak keluar dari lingkaran kriminal, kesusilaan, hak asasi dan segala hak yang ditunggangi para manusia dibawah selangkangannya. Kucoba jeli membaca artikel ini dan artikel itu. Semua beritanya sama kudapati. Hanyalah kisah berulang tentang anak manusia yang memangsa manusia lainnya.

      Demi hak, demi kebebasan, demi balas dendam, persetan demi ini demi itu! Aku tak butuh ‘demi’ kalian. Aku butuh ‘demi’ kita bersama. Lalu apakah salah kami telah menjadi manusia? Apakah kami telah melampaui manusia? Atau bahkan kami lebih rendah dari manusia? Haruskah kami menuju definisi manusia? Atau bahkan kami harus kembali menjadi manusia? Ah, entahlah. Tuhan, aku memberitahu-Mu. Ini bukan pertanyaan, tapi retorika.

      Tuhan, ulurkan bantuanmu. Berilah hamba kekuatan, berilah hamba senjata, berilah kekuasaan. Bukan dengan persatuan, keadilan, kemerdekaan, atau barang remeh-temeh lainnya. Hamba hanya butuh satu senjata digdaya darimu. Kuambil dua kata dan kuberi nama senjata itu, “KASIH SAYANG”.

-Aamiin-

 

*Tulisan ini dimuat dalam buku "Sebuah Lentera, Seri Pemikiran Mahasiswa FEB UI"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun