Oh ternyata aku baru menemukan beberapa hari yang lalu, sama. Ah tapi kiranya berbeda lah, walau takaran mengatakan setitik saja. Lalu kelompok yang lain memungut gilirannya. Mereka bersatu, baik visi, misi dan bahkan mimpi. Himpun segala yang bisa dihimpun untuk menggumpal menjadi satu. Jangan sampai tersua keretakan sedikit saja diantara kelompok ini. Mereka terus mempertahankannya dengan lem-lem sosial yang kadang tak logis. Kagetlah mereka saat menemukan gumpalan yang lain. “Wah, bahaya! Mereka bersatu, kepentingannya merebut lem kita. Menggerogoti sendi-sendi persatuan kita!” ujar aktor gumpalan pertama pada sarwa telinga teman seperjuangan. Gumpalan ini berlari, sekencang-kencangnya. Ditendanglah persatuan, gumpalan yang lain. “Tak akan tersua persatuan didalam persatuan. Hahaha!” pekiknya lantang. (Persatuan lain telah tertelan bumi)
***
Tererak aku dengan gerombolan-gerombolan itu. Maka aku berhijrah, aku lari dari kampungku. Berpindah ke seberang pulau sana, lalu kutemukanlah kampung sederhana, tak berjebah warna dalam kepala mereka. Mereka menjadi monoton, aktifitas yang sama akan selalu dilakukan orang yang sama pada waktu yang sama dan rentang periode yang sama, sama, sama serba sama. Aku lega melihat ketentraman kampung ini, kali ini tempatku berpijak dapat kukatakan benar. Lalu kunyanyikan senandung bahagia di kampung yang tak mengenal tembang ini, sampai datang lelapku.
Kejutku pada mentari pagi, aku terkepung orang-orang kampung ini. Tatapan mereka menganiayaku. Lontaran kata-kata mereka tak dapat kumengerti kenapa. Jelas ku cerna bahwa aku tak diterima. Tuhan, aku hanya ingin hidup damai dari gerombolan-gerombolan yang kutemui di kampungku. Tapi kenapa harus perdamaian mereka yang menepikan aku? Kenapa nyawa harus menjadi ancaman mereka untuk memonopoli perdamaian? Sudahlah, tak perlu kau jawab dulu Tuhan. Aku akan kembali kedalam pelukan kampungku. Aku telah amat rindu dengan nasihat ibuku. Biarlah aku pulang.
***
Tarikh demi tarikh berlalu, gerombolan yang dahulu bersatu dengan memakan persatuan gerombolan lain itu kini terlihat akrab. Tak ada lagi kegaduhan kutemui di tanah lahirku ini. Setidaknya sampai aku duduk berhadapan dengan ibuku, menyantap sepiring sarapan pagi dengan piring pada tangan kiri sembari tangan kanan menyuap jumput demi jumput.
“Nak, apakah kamu telah mendapat dengar bahwa negeri seberang telah menapakkan jemarinya di Ibukota Embonetia?”
“Tidak Bu. Gerangan apa mereka lakukan di Ibukota?”
“Katanya mereka mau berdagang nak. Tapi entahlah bagaimana ceritanya mereka bertindak seingin nafsunya sendiri. Maafkan aku nak, telah melahirkanmu di Embonetia.”
“Kenapa Bu? Apa yang membuat orang terkasihku bergumam demikian?”
“Mereka ingin kemerdekaan, Le.”
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!