“Apa yang salah dengan kemerdekaan Bu? Kan itu telah digenggamkan Tuhan di tangan mereka, kemerdekaan. Itu wajar Bu.”
“Kau memang benar tak mendapat dengar, Nak. Mereka menginginkan kemerdekannya dengan menghapuskan kemerdekaan Embonetia. (ucapnya terisak ketika bulir bening merembes atas pipinya).”
(Ku rengkuh tubuh ibuku, bulir bening tak kuasa dan memaksa keluar di sudut kelopakku)
***
Kemerdekaan semulia itu ternyata tak dapat kemutlakan dari mulia. Aku termenung, membaca koran pagi yang tak henti diantarkan Pak Sumarno setiap kali sinar mentari sampai di halaman rumahku. Halaman demi halaman hitam putih kusingkap. Begitu banyak berita disajikan tiap harinya tak keluar dari lingkaran kriminal, kesusilaan, hak asasi dan segala hak yang ditunggangi para manusia dibawah selangkangannya. Kucoba jeli membaca artikel ini dan artikel itu. Semua beritanya sama kudapati. Hanyalah kisah berulang tentang anak manusia yang memangsa manusia lainnya.
Demi hak, demi kebebasan, demi balas dendam, persetan demi ini demi itu! Aku tak butuh ‘demi’ kalian. Aku butuh ‘demi’ kita bersama. Lalu apakah salah kami telah menjadi manusia? Apakah kami telah melampaui manusia? Atau bahkan kami lebih rendah dari manusia? Haruskah kami menuju definisi manusia? Atau bahkan kami harus kembali menjadi manusia? Ah, entahlah. Tuhan, aku memberitahu-Mu. Ini bukan pertanyaan, tapi retorika.
Tuhan, ulurkan bantuanmu. Berilah hamba kekuatan, berilah hamba senjata, berilah kekuasaan. Bukan dengan persatuan, keadilan, kemerdekaan, atau barang remeh-temeh lainnya. Hamba hanya butuh satu senjata digdaya darimu. Kuambil dua kata dan kuberi nama senjata itu, “KASIH SAYANG”.
-Aamiin-
*Tulisan ini dimuat dalam buku "Sebuah Lentera, Seri Pemikiran Mahasiswa FEB UI"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H