Aspek Filsafat dalam Sastra
Sastra dan filsafat adalah dua disiplin yang sama-sama menggali pertanyaan mendalam tentang kehidupan, manusia, dan dunia. Jika filsafat berbicara dalam bahasa argumen dan teori, sastra menyampaikan gagasan melalui cerita, tokoh, dan konflik. Keduanya sering kali bertemu dalam sebuah karya sastra, yang tidak hanya menyajikan hiburan, tetapi juga refleksi filosofis tentang keberadaan dan nilai-nilai manusia.
Misalnya, siapa yang tidak terguncang membaca Crime and Punishment karya Fyodor Dostoevsky? Novel ini tidak hanya berkisah tentang kejahatan pembunuhan, tetapi juga menyelam ke dalam konflik moral manusia: Apakah ada pembenaran untuk tindakan kriminal demi tujuan yang lebih besar? Pertanyaan ini membawa pembaca pada eksplorasi filsafat moral dan nihilisme.
Berikut adalah aliran-aliran filsafat yang sering ditemukan dalam karya sastra, dilengkapi dengan resensi singkat untuk memahami nilai filosofisnya.
1. Eksistensialisme: Perjuangan Menemukan Makna Hidup
Eksistensialisme muncul sebagai respons terhadap kebingungan manusia menghadapi absurditas kehidupan. Sastra eksistensialis sering menggambarkan tokoh yang menghadapi krisis identitas dan makna hidup.
The Stranger, karya Albert Camus
Dalam novel ini, Meursault, sang protagonis, menghadapi absurditas hidup setelah kematian ibunya. Ia bersikap apatis bahkan saat menghadapi hukuman mati. Novel ini menggambarkan gagasan Camus tentang "the absurd", bahwa kehidupan tidak memiliki makna inheren, tetapi manusia harus tetap menjalaninya.
Mengajak pembaca untuk menerima absurditas tanpa menyerah, dan menciptakan makna sendiri.
Arok Dedes, karya Pramoedya Ananta Toer
Melalui tokoh Arok, novel ini mengeksplorasi kebebasan individu dan tanggung jawab atas pilihan. Arok menggambarkan seorang eksistensialis yang menantang takdir demi mencapai tujuan.
2. Humanisme: Perayaan Martabat dan Kemanusiaan
Humanisme dalam sastra sering terlihat melalui perjuangan tokoh melawan ketidakadilan untuk mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan.
Les Misrables, karya Victor Hugo
Novel ini mengeksplorasi penderitaan Jean Valjean yang terus-menerus dihantui dosa masa lalunya sebagai mantan narapidana. Hugo menyentuh tema keadilan, kasih sayang, dan kemanusiaan.
Menunjukkan bahwa cinta dan pengampunan memiliki kekuatan untuk mengatasi kebencian dan ketidakadilan.
Bumi Manusia (Pramoedya Ananta Toer)
Mengisahkan Minke, seorang pemuda pribumi, dalam perjuangannya melawan kolonialisme. Novel ini adalah manifesto humanisme yang mengedepankan nilai-nilai kebebasan dan kesetaraan.
3. Nihilisme: Kehampaan Makna dalam Hidup
Sastra yang merefleksikan nihilisme sering kali menampilkan tokoh yang menghadapi kehampaan hidup dan pertanyaan tentang moralitas.
Crime and Punishment, karya Fyodor Dostoevsky.
Menceritakan tokoh utama Raskolnikov, seorang mahasiswa miskin, membunuh seorang rentenir dengan keyakinan bahwa tindakannya dibenarkan secara moral demi kebaikan masyarakat. Namun, rasa bersalah menghancurkannya, memaksanya merenungkan moralitas manusia.
Novel di atas menantang gagasan bahwa manusia bisa melampaui moralitas tradisional tanpa konsekuensi.
Puisi-puisi Chairil Anwar, seperti Aku, menggambarkan nihilisme dalam keberanian menolak norma, meskipun tetap membawa semangat pemberontakan dan eksistensi.
4. Romantisisme: Mengutamakan Emosi dan Keindahan Alam
Romantisisme dalam sastra sering mencerminkan pencarian kebebasan dan keindahan di tengah keterbatasan dunia modern.
Frankenstein, karya Mary Shelley menyajikan sebuah kisah tragis tentang sains tanpa moralitas, di mana Dr. Frankenstein menciptakan makhluk yang akhirnya menghancurkannya.
Novel yang juga menjadi film ini menyoroti bahaya dan resiko melampaui batas alamiah manusia tanpa memikirkan konsekuensi moralnya.
Novel Sitti Nurbaya karya Marah Rusli menyajikan kisah cinta yang tragis ini mencerminkan pergulatan antara tradisi dan kebebasan individu, khas dalam romantisme Indonesia.
5. Postmodernisme: Pluralitas Makna dan Kritik terhadap Narasi Besar
Postmodernisme menantang ide-ide universal dan menyoroti keberagaman perspektif.
Novel Slaughterhouse-Five, karya Kurt Vonnegut, novel ini membahas absurditas perang melalui narasi yang melompat-lompat antara waktu dan ruang, menantang gagasan narasi linier.
Novel ini menyoroti relativisme makna dan kritik terhadap struktur tradisional.
Novel Saman, tulisan Ayu Utami mengambil gaya narasi yang fragmentaris, novel ini mengeksplorasi isu sosial, politik, dan seksualitas, menggambarkan kompleksitas hidup modern.
6. Filsafat Moral: Konflik Nilai dan Etika
Konflik moral sering menjadi inti dari banyak karya sastra besar.
Novel legendaris "To Kill a Mockingbird" karya Harper Lee mengeksplorasi isu rasisme melalui perjuangan Atticus Finch membela seorang pria kulit hitam yang dituduh melakukan pemerkosaan.
Melalui novel ini Lee menggambarkan keadilan dan moralitas melawan prasangka sosial. Novel ini juga digarap menjadi film dengan judul yang sangat laris ditonton pada akhir tahun 60-an.
Novel Di Bawah Lindungan Ka'bah karya Buya Hamka, mengisahkan tentang  cinta dan pengorbanan, mengajarkan nilai-nilai moral Islam, seperti kesabaran dan kepasrahan kepada takdir.
Penutup
Sastra tidak hanya menyampaikan cerita, tetapi juga menjadi medium refleksi filosofis yang mendalam. Membaca karya sastra dengan lensa filsafat membantu kita memahami kompleksitas hidup, konflik moral, dan pencarian makna. Dalam dunia yang semakin kompleks, sastra dan filsafat tetap menjadi panduan abadi untuk menyelami hakikat manusia.
Sastra adalah cermin kehidupan, dan filsafat adalah panduannya. Sastra bukan sekedar hiburan atau karya seni tapi juga menjadi panduan moral untuk menyelami dan memaknai hidup sekaligus menjadi kekayaan budaya yang akan selalu dipelajari oleh generasi mendatang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI