Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat - Jurnalis

Alamat Jln. Tj, Jepara No.22 Kota Luwuk Kab. Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tawuran Remaja : Penyalahgunaan Medsos Untuk Kekerasan

14 Desember 2024   19:57 Diperbarui: 14 Desember 2024   19:57 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengantar

Fenomena tawuran pelajar yang dipicu oleh provokasi di media sosial mencerminkan dinamika baru dalam hubungan antar-remaja di era digital. Dalam beberapa tahun terakhir, kasus-kasus ini semakin marak, dengan pola yang hampir seragam: ejekan atau tantangan di platform seperti Instagram atau TikTok yang berkembang menjadi bentrokan fisik. Di Jakarta Barat, misalnya, ajakan tawuran di Palmerah pada September 2024 merenggut nyawa seorang remaja akibat luka senjata tajam. Di Yogyakarta, konflik serupa disebabkan oleh saling ejek yang viral, melibatkan senjata improvisasi seperti sabuk berisi gir.

Media sosial telah menjadi arena konflik baru bagi remaja, di mana tekanan sosial untuk menunjukkan keberanian atau status sering kali mengarah pada aksi destruktif. Tidak hanya memfasilitasi provokasi, algoritma platform ini juga memperbesar jangkauan konten yang memicu kekerasan. Dengan minimnya pengawasan dan literasi digital, remaja semakin rentan terjebak dalam siklus ini, membawa kekerasan dari dunia maya ke dunia nyata.

Di sisi lain, fenomena ini menantang pemerintah, aparat, dan lembaga pendidikan untuk beradaptasi. Upaya seperti patroli siber oleh kepolisian, yang rutin dilakukan di Jakarta Barat, telah membantu menekan angka insiden, meskipun sifat konflik ini sulit dihentikan sepenuhnya. Namun, tawuran pelajar tetap menjadi sinyal kuat bahwa media sosial bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga kekuatan yang membentuk perilaku generasi muda.

Artikel ini akan mengupas masalah ini dari berbagai perspektif, sosiologis, psikologis, teknologi, hukum, pendidikan, hingga kriminologi, untuk menjawab pertanyaan penting: mengapa remaja menggunakan media sosial sebagai alat konflik, dan bagaimana kita dapat mencegah eskalasi yang lebih besar?. Tulisan ini bertujuan memberikan solusi konkret untuk memutus siklus kekerasan di kalangan pelajar Indonesia.

Media Sosial dan Tawuran Pelajar: Analisis dari Perspektif Multidisiplin

Tawuran pelajar yang dipicu oleh provokasi media sosial adalah masalah kompleks yang mencerminkan perubahan sosial akibat teknologi. Fenomena ini menunjukkan bagaimana platform digital telah menjadi ruang konflik baru yang memperburuk ketegangan di dunia nyata. Artikel ini membahas persoalan tersebut melalui berbagai perspektif untuk memahami akar masalah dan mencari solusi.

Perspektif Sosiologis

Sosiolog Emile Durkheim menyebutkan bahwa tindakan kolektif sering kali dipengaruhi oleh norma sosial dalam kelompok. Media sosial menciptakan "komunitas digital" yang memperkuat identitas kelompok, termasuk rivalitas antar-pelajar. Tantangan atau ejekan online menjadi bagian dari upaya menunjukkan dominasi kelompok, yang kemudian diikuti aksi di dunia nyata.

Edukasi tentang tanggung jawab sosial di media digital harus ditanamkan sejak dini. Sekolah dapat mengadakan program diskusi antar-pelajar untuk mengatasi rivalitas kelompok.

Perspektif Psikologis

Psikolog Erik Erikson menekankan bahwa remaja berada pada fase pencarian identitas, yang membuat mereka rentan terhadap tekanan sosial. Provokasi di media sosial sering memunculkan rasa ingin membuktikan keberanian atau menjaga status sosial, terutama jika tantangan dipublikasikan secara luas.

Psikolog Dra. Aulia Fitri mengatakan, "Remaja sering kali tidak memahami konsekuensi dari tindakan mereka karena dorongan emosional lebih dominan dibandingkan rasionalitas."

Pendampingan psikologis melalui bimbingan konseling sekolah dapat membantu remaja mengelola emosi mereka.

Perspektif Teknologi dan Komunikasi

Algoritma media sosial sering kali memperbesar eksposur konten provokatif, menciptakan "filter bubble" yang memperparah konflik. Tantangan atau ejekan yang viral mendapatkan perhatian lebih, mendorong aksi nyata untuk mendapatkan validasi dari penonton.

Prof. Hermansyah, pakar komunikasi, berpendapat, "Platform digital harus bertanggung jawab dengan mengembangkan fitur moderasi yang lebih ketat terhadap konten provokasi."

Kolaborasi antara platform media sosial dan pemerintah diperlukan untuk memantau dan menghapus konten yang berpotensi memprovokasi kekerasan.

Perspektif Hukum dan Etika Digital

Provokasi yang berujung pada kekerasan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum, termasuk Undang-Undang ITE dan KUHP. Namun, minimnya kesadaran hukum remaja menjadi tantangan.

AKBP Andri Kurniawan menegaskan pentingnya patroli siber untuk mencegah ajakan tawuran yang disebarluaskan secara daring.

Pemerintah perlu memperkuat literasi hukum melalui kurikulum sekolah dan kampanye kesadaran di media sosial.

Perspektif Pendidikan dan Kebijakan Publik

Lemahnya pendidikan karakter di sekolah berkontribusi pada mudahnya remaja terlibat dalam konflik. Tawuran adalah gejala dari kurangnya kontrol emosional dan rendahnya empati terhadap orang lain.

Pemerintah dapat memperluas program seperti anti-bullying campaign dan pendidikan digital untuk mengajarkan etika bermedia sosial sejak dini.

Perspektif Kriminologi

Tawuran pelajar adalah bentuk kenakalan remaja yang berkembang menjadi tindakan kriminal. Dari perspektif ini, remaja yang terlibat dipengaruhi oleh lingkungan sosial yang mendukung tindakan kekerasan.

 Kriminolog Adrianus Meliala menyebut bahwa "tawuran adalah bentuk penegasan eksistensi kelompok yang dipicu oleh kurangnya pengawasan."

Perlu adanya pengawasan komunitas berbasis partisipasi masyarakat, seperti program pengawasan oleh orang tua dan guru di luar sekolah.

Kesimpulan

Tawuran pelajar yang dipicu oleh media sosial membutuhkan pendekatan lintas disiplin untuk mengatasinya. Edukasi literasi digital, pendampingan psikologis, penegakan hukum, dan kolaborasi antara pemerintah dengan platform media sosial adalah langkah penting. Selain itu, pemberdayaan komunitas sekolah untuk menciptakan ruang diskusi sehat dapat menjadi cara efektif memutus rantai kekerasan ini.

Artikel ini menjadi pengingat bahwa media sosial adalah alat yang bisa menciptakan peluang maupun ancaman, tergantung bagaimana penggunaannya. Sudah saatnya semua pihak mengambil peran aktif untuk melindungi generasi muda dari dampak destruktif teknologi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun