Psikolog Erik Erikson menekankan bahwa remaja berada pada fase pencarian identitas, yang membuat mereka rentan terhadap tekanan sosial. Provokasi di media sosial sering memunculkan rasa ingin membuktikan keberanian atau menjaga status sosial, terutama jika tantangan dipublikasikan secara luas.
Psikolog Dra. Aulia Fitri mengatakan, "Remaja sering kali tidak memahami konsekuensi dari tindakan mereka karena dorongan emosional lebih dominan dibandingkan rasionalitas."
Pendampingan psikologis melalui bimbingan konseling sekolah dapat membantu remaja mengelola emosi mereka.
Perspektif Teknologi dan Komunikasi
Algoritma media sosial sering kali memperbesar eksposur konten provokatif, menciptakan "filter bubble" yang memperparah konflik. Tantangan atau ejekan yang viral mendapatkan perhatian lebih, mendorong aksi nyata untuk mendapatkan validasi dari penonton.
Prof. Hermansyah, pakar komunikasi, berpendapat, "Platform digital harus bertanggung jawab dengan mengembangkan fitur moderasi yang lebih ketat terhadap konten provokasi."
Kolaborasi antara platform media sosial dan pemerintah diperlukan untuk memantau dan menghapus konten yang berpotensi memprovokasi kekerasan.
Perspektif Hukum dan Etika Digital
Provokasi yang berujung pada kekerasan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum, termasuk Undang-Undang ITE dan KUHP. Namun, minimnya kesadaran hukum remaja menjadi tantangan.
AKBP Andri Kurniawan menegaskan pentingnya patroli siber untuk mencegah ajakan tawuran yang disebarluaskan secara daring.
Pemerintah perlu memperkuat literasi hukum melalui kurikulum sekolah dan kampanye kesadaran di media sosial.