Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat - Jurnalis

Alamat Jln. Tj, Jepara No.22 Kota Luwuk Kab. Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Ketika Palu Hakim Bernada Sumbang

2 Desember 2024   09:46 Diperbarui: 2 Desember 2024   10:21 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gratis foto haji (Lovepik)

Ketika Palu Hakim Bernada Sumbang

Palu itu turun dengan suara berat,
Di ruang sepi, jejak keadilan diragukan.
Tangan yang memegangnya tampak ragu,
Seolah tak tahu mana yang benar, mana yang salah.

Di balik meja, wajah penuh hiruk-pikuk,
Hati yang kosong, menimbang beratnya beban.
Keputusan yang diambil tak lagi suci,
Luruh bersama suara gemeretak palu.

Kata-kata itu menggema, tapi terasa hampa,
Keadilan, seperti bayangan yang semakin jauh.
Setiap kalimat, setiap undang-undang,
Hanya bergulir di bibir yang lelah.

Di dalam ruang pengadilan yang dingin,
Palu hakim memecah keheningan yang penuh dusta.
Bukan hanya kesalahan yang diadili,
Tetapi juga harga diri yang dipertaruhkan.

Ketika suara palu itu mulai sumbang,
Mereka yang tertindas diam tak berkata,
Menghadapi kenyataan yang tak terungkap,
Di mana hukum hanyalah bayang-bayang kosong.

Para pencari keadilan berdiri dengan harap,
Namun harapan itu pelan-pelan pudar.
Bagaimana bisa percaya pada kebenaran,
Ketika hakim tak lagi mendengar hati nurani?

Palu itu jatuh, namun tak ada tepukan,
Tak ada yang merayakan, hanya keraguan.
Keadilan bersembunyi di balik angka,
Hanya formulir yang mendiktekan nasib.

Setiap keputusan diputuskan dalam gelap,
Tanpa penerangan dari nilai kemanusiaan.
Di meja hakim, keadilan menjauh,
Berganti dengan kepentingan yang tak tampak.

Dengan palu yang berdenting sumbang,
Hakim berbalik arah, tak lagi menyapa suara.
Rakyat menunggu, namun tak ada jawaban,
Hukum yang dipegang hanyalah cermin kosong.

Di luar sana, orang-orang meratap,
Mencari keadilan yang telah hilang.
Tapi di ruang itu, palu tetap jatuh,
Menandai kehancuran harapan yang lama dipupuk.

Bukan hanya mereka yang bersalah yang terhukum,
Tetapi juga mereka yang berjuang untuk kebenaran.
Ketika palu hakim bernada sumbang,
Dunia kehilangan arah dan makna.

Dalam kebisuan, suara itu semakin keras,
Menggema dalam hati mereka yang terluka.
Di luar, angin bertiup dengan pilu,
Menyeru keadilan yang tenggelam dalam kepalsuan.

Para pencari keadilan itu hanya bisa terdiam,
Tak ada lagi yang mampu menegakkan hukum.
Hanya bayang-bayang kebenaran yang terasing,
Menunggu untuk ditemukan, namun entah kapan.

Ketika palu hakim bernada sumbang,
Keadilan tak lagi menjadi hak,
Hanya sebuah mimpi yang terus menghilang,
Ditinggalkan oleh mereka yang berjanji menegakkan keadilan.

Maka biarkan suara itu terlepas,
Dari palu yang menggetarkan hati nurani.
Agar keadilan bisa kembali,
Dalam setiap kata, setiap tindakan, dan setiap langkah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun