Palu itu turun dengan suara berat,
Di ruang sepi, jejak keadilan diragukan.
Tangan yang memegangnya tampak ragu,
Seolah tak tahu mana yang benar, mana yang salah.
Di balik meja, wajah penuh hiruk-pikuk,
Hati yang kosong, menimbang beratnya beban.
Keputusan yang diambil tak lagi suci,
Luruh bersama suara gemeretak palu.
Kata-kata itu menggema, tapi terasa hampa,
Keadilan, seperti bayangan yang semakin jauh.
Setiap kalimat, setiap undang-undang,
Hanya bergulir di bibir yang lelah.
Di dalam ruang pengadilan yang dingin,
Palu hakim memecah keheningan yang penuh dusta.
Bukan hanya kesalahan yang diadili,
Tetapi juga harga diri yang dipertaruhkan.
Ketika suara palu itu mulai sumbang,
Mereka yang tertindas diam tak berkata,
Menghadapi kenyataan yang tak terungkap,
Di mana hukum hanyalah bayang-bayang kosong.
Para pencari keadilan berdiri dengan harap,
Namun harapan itu pelan-pelan pudar.
Bagaimana bisa percaya pada kebenaran,
Ketika hakim tak lagi mendengar hati nurani?
Palu itu jatuh, namun tak ada tepukan,
Tak ada yang merayakan, hanya keraguan.
Keadilan bersembunyi di balik angka,
Hanya formulir yang mendiktekan nasib.
Setiap keputusan diputuskan dalam gelap,
Tanpa penerangan dari nilai kemanusiaan.
Di meja hakim, keadilan menjauh,
Berganti dengan kepentingan yang tak tampak.
Dengan palu yang berdenting sumbang,
Hakim berbalik arah, tak lagi menyapa suara.
Rakyat menunggu, namun tak ada jawaban,
Hukum yang dipegang hanyalah cermin kosong.
Di luar sana, orang-orang meratap,
Mencari keadilan yang telah hilang.
Tapi di ruang itu, palu tetap jatuh,
Menandai kehancuran harapan yang lama dipupuk.