Pengantar oleh Socrates
Socrates: "Para hadirin yang terhormat, malam ini kita akan menjelajahi sesuatu yang telah menggugah para filsuf, penyair, dan bahkan rakyat biasa sejak zaman dahulu: 'Apakah kebenaran itu, dan dari mana ia berasal?' Kita memiliki dua pemikir besar yang akan menyampaikan pandangan mereka yang sangat berbeda. Rene Descartes, seorang pemikir rasionalis yang meyakini bahwa kebenaran ditemukan melalui pikiran yang murni dan metode skeptisisme radikal. Di sisi lain, ada Immanuel Kant, filsuf dari Knigsberg yang menantang ide kebenaran absolut dan memperkenalkan konsep batasan pengetahuan melalui kerangka akal dan pengalaman manusia."
(Socrates berhenti sejenak, menatap penonton dengan intens.)
"Kita ingin mendalami pertanyaan-pertanyaan besar: Apakah kebenaran dapat ditemukan dalam pemikiran yang terlepas dari pengalaman, atau adakah batasan tak terhindarkan yang diberikan oleh dunia pengalaman kita? Apakah ada kebenaran yang absolut atau kebenaran itu selalu relatif? Dan lebih jauh lagi, apakah pencarian kebenaran ini semata demi kepastian atau mungkin demi pemahaman yang lebih besar tentang diri kita sendiri? Mari kita mulai dan lihat sejauh mana dua pendekatan ini akan bertahan. Baiklah kita mulai dari Descartes, apa yang bisa anda katakan tentang kebenaran."
Descartes:Â
"Merci, Socrates." (mengangkat tangan, penuh percaya diri) "Bagi saya, kebenaran adalah sesuatu yang absolut, yang bisa kita akses jika kita mengandalkan akal dengan penuh. Keraguan, jika digunakan dengan benar, mengantar kita pada dasar pemikiran yang tak terbantahkan: Aku berpikir, maka aku ada. Ini adalah kebenaran yang pasti, dan dari sini, kita bisa membangun seluruh pengetahuan tentang dunia dengan logika yang konsisten."
Kant:Â (tersenyum, bersikap tenang)Â
"Herr Descartes, Anda sangat mengagumkan dalam kepercayaan diri terhadap akal. Tapi kita perlu lebih hati-hati di sini. Bagi saya, kebenaran tidak sesederhana itu. Akal kita memang hebat, tapi persepsi kita terbatas. Yang kita tahu hanyalah fenomena, bukan noumena, realitas sejati itu sendiri. Jadi, manusia tidak bisa mengakses kebenaran mutlak, hanya yang bisa kita lihat melalui 'lensa' dari ruang, waktu, dan sebab-akibat."
Descartes: (menyela cepat, sedikit geli)Â
"Herr Kant, Anda membicarakan batasan ini seolah-olah itu adalah dinding tebal yang tak bisa ditembus. Saya berani bertanya: Jika kita hanya bisa melihat melalui 'lensa' tertentu, mengapa kita memiliki kemampuan berpikir yang begitu tinggi? Bagi saya, akal ada untuk menemukan kebenaran yang sebenarnya, melampaui batas-batas persepsi."
Kant: (mencondongkan tubuh ke depan, serius namun penuh sindiran halus)Â
"Saya kira Anda lupa, Ren, bahwa justru 'kemampuan tinggi' ini yang membatasi kita. Akal manusia bukanlah kaca jernih yang memantulkan dunia dengan sempurna, melainkan lensa yang mengatur apa yang kita lihat. Mari bayangkan ini sebagai opera: kita melihat panggung, tapi tidak pernah bisa tahu apa yang terjadi di balik tirai. Itulah noumena, realitas di balik fenomena yang terlihat."
Socrates: (tertawa kecil, menggoda)Â
"Kalian membuat saya ingin tahu apakah sebenarnya kita bisa mengetahui apa pun! Tapi bagaimana dengan pertanyaan ini: Apakah tujuan akhir dari pengetahuan? Apakah kita mencari kepastian mutlak, atau mungkin kebijaksanaan dalam memahami batasan kita?"
Descartes: (menyeringai, percaya diri)Â
"Socrates, saya kira jawabannya adalah kepastian. Pengetahuan adalah tentang menemukan sesuatu yang tak terbantahkan, sesuatu yang benar tanpa ragu. Jika kita menerima bahwa kebenaran adalah sesuatu yang bisa diraih, maka tujuan akhir pengetahuan adalah kepastian itu."
Kant: (tertawa kecil)Â
"Ren, saya kira Anda terlalu terburu-buru. Menurut saya, mencari kepastian absolut justru membatasi kita. Tujuan akhir pengetahuan bukanlah untuk menemukan kebenaran absolut yang tak terbantahkan, tetapi untuk memahami posisi kita di dunia ini dan menerima bahwa ada sesuatu yang di luar pemahaman kita. Ada kebijaksanaan dalam mengakui keterbatasan."
Descartes: (mengangkat alis, sedikit tegang)Â
"Jadi, Anda menginginkan manusia hidup dalam kebingungan dan menerima ketidaktahuan? Saya pikir itu jalan yang berbahaya, Herr Kant. Manusia perlu kepastian, sebagai pegangan yang kuat dalam menjalani hidup."
Kant: (tenang, sedikit menyindir)
 "Ren, kebingungan itu hanyalah bagian dari perjalanan. Bukankah justru penerimaan terhadap batasan ini yang bisa membuat manusia lebih bijak? Kebijaksanaan adalah mengakui bahwa kita mungkin tidak akan pernah mencapai 'kebenaran sejati' itu, dan hidup dengan pemahaman yang kita miliki, bukan dengan ilusi kepastian."
Socrates: (menatap mereka berdua, dengan ekspresi penuh minat)Â
"Sepertinya kita menghadapi  jalan buntu di sini, Herr Descartes dan Herr Kant. Tapi, bagaimana dengan konsep kebenaran yang bersifat etis atau moral? Jika kebenaran absolut mungkin tidak bisa kita capai dalam ilmu pengetahuan atau dunia fisik, apakah ada kebenaran mutlak dalam hal yang baik atau buruk?"
Descartes:
 "Kebenaran moral ?,  Saya kira itu pun bisa kita capai dengan menggunakan akal dan logika. Jika kita bisa memahami kebenaran melalui pikiran yang jernih, maka kita juga bisa mengetahui yang baik dan yang buruk. Akal mampu memberi kita panduan moral yang jelas."
Kant: (menyela dengan serius)Â
"Saya setuju bahwa akal adalah kunci, tetapi kebenaran moral tidak sama dengan kebenaran ilmiah atau logis. Moralitas bagi saya adalah tindakan yang dilakukan karena kita mengerti itu benar secara universal, itulah konsep imperatif kategoris yang saya ciptakan. Â Kita melakukan sesuatu bukan karena kita ingin atau merasa perlu, tetapi karena kita tahu itu benar untuk semua."
Descartes: (mengernyit, tertawa kecil)Â
"Imperatif kategoris ?, Â Jadi Anda menganggap ada hukum moral yang harus diikuti oleh semua orang, terlepas dari konteks ? Bagaimana mungkin semua situasi punya jawaban moral yang sama?"
Kant:Â
"Herr Descartes, moralitas adalah tentang prinsip, bukan tentang hasil atau konteks. Jika suatu tindakan salah, maka itu salah, dan alasan kita melakukannya tidak mengubah kebenaran moralnya."
Socrates: (mengangguk penuh minat)Â
"Ahhh, ini sangat menarik! Jadi, apakah kebenaran moral ini bisa dianggap sebagai bentuk kebenaran absolut? Jika begitu, bukankah kita kembali ke titik di mana ada kebenaran absolut yang tidak terkait dengan pengalaman langsung, melainkan dengan prinsip universal?"
(Keduanya berpikir sejenak, Descartes tampak puas, sedangkan Kant tampak mempertimbangkan pandangannya.)
Descartes:Â
"Tentu saja, Socrates! Ini menunjukkan bahwa prinsip universal adalah dasar dari kebenaran sejati, baik dalam ilmu pengetahuan maupun moralitas. Mungkin Anda tidak terlalu salah, Herr Kant, tapi saya pikir Anda harus lebih percaya diri pada kemampuan akal."
Kant: (mengangguk perlahan)Â
"Dan mungkin, Herr Descartes, saya setuju bahwa ada nilai dalam prinsip-prinsip universal. Tapi saya akan tetap bertahan bahwa akal manusia hanya bisa memahami sejauh apa yang diizinkan oleh batasannya."
Debat ini akhirnya menghasilkan titik temu yang menggambarkan bahwa kebenaran bisa dianggap sebagai sesuatu yang absolut di satu sisi, tapi tetap perlu diterima dalam batas-batas persepsi dan prinsip universal yang menjadi dasar moralitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H