Bila air hujan di daerah pedesaan relatif masih lebih aman, lain cerita dengan yang di kota. Uap air yang naik sebelum berkumpul menjadi awan sebelum hujan berasal dari tanah yang masih subur dan bisa ditanami tanaman apa pun. Pastinya, kandungannya masih lebih aman daripada uap air dari lingkungan perkotaan yang penuh jalan beraspal dan asap knalpot kendaraan bermotor.
Duh, semoga saya tidak salah ingat, ya. Hehehe, maklum bukan pelajar teladan dulu.
Sejauh ini, saya sudah pernah melihat satu cara konvensional untuk menampung air hujan. Bukan, bukan membangun embung seperti di desa-desa. (Pastinya tidak mungkin juga, ya.)
Salah satunya adalah dengan meletakkan ember di luar rumah saat hujan. Tidak usah jauh-jauh sampai ke jalanan, sih. Cukup letakkan di beranda depan yang tidak terhalang oleh atap.
Lalu, setelah itu biarkan hingga ember penuh. (Bahkan, kalau punya lebih dari satu ember yang sedang menganggur, pakai saja semuanya secara bergantian.) Ember yang sudah penuh dibawa ke dalam dan disimpan di tempat penyimpanan air khusus. (Biasanya sih, baskom mandi yang jauh lebih besar daripada ember yang bisa diangkut ke mana-mana.)
Apa yang bisa dilakukan dengan air hujan yang kita kumpulkan dengan cara seperti itu? Pastinya, kurang lebih sama seperti program pembuatan embung di desa, meskipun dengan skala lebih kecil. Mulai saja dari orang per orang dulu. Bila sudah merasakan manfaatnya, siapa tahu bisa naik jadi program reguler RT setempat.
'Kan Bisa Beli Air Kemasan atau Dispenser?
Hmm, mungkin komentar semacam ini akan keluar begitu membaca usulan tidak lazim saya di atas. Ibaratnya menyusahkan diri saja. Bila bisa membeli air kemasan atau untuk dispenser, untuk apa menabung air hujan? Kota besar seperti Jakarta 'kan banyak penjual air bersih.
Iya, sih. Cuma, tidak ada salahnya kita mempersiapkan cadangan air. Masalahnya, pernah kejadian beberapa tahun silam saat di rumah keluarga di daerah pinggiran Jakarta Selatan.
Waktu itu juga pas musim kemarau. Entah kenapa, tiba-tiba semua air yang keluar dari keran berwarna keruh, tidak jernih seperti biasanya. Air yang keluar sedikit bercampur dengan tanah.
Dugaan saya saat itu? Tanah mengering sehingga sulit mendapatkan air tanah, terutama untuk memasak dan mandi. Bahkan, di beberapa rumah tetangga ada yang sampai aliran airnya mati. Waduh, bagaimana nanti yang sudah terburu-buru sekolah atau ke kantor? Masa tidak pakai mandi pagi, sih?