Mohon tunggu...
Ruby Astari
Ruby Astari Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, penerjemah, pengajar Bahasa Inggris dan Indonesia, pembaca, dan pemikir kritis.

"DARI RUANG BENAK NAN RIUH": Untuk menjelaskan perihal penulis yang satu ini, cukup membaca semua tulisannya di sini (dan mungkin juga di tempat lain). Banyak dan beragam, yang pastinya menjelaskan satu hal: Ruang benaknya begitu riuh oleh banyak pemikiran dan perasaan. Ada kalanya mereka tumpang-tindih dan bukan karena dia labil dan irasional. Seringkali daya pikirnya melaju lebih cepat dari tangannya yang menciptakan banyak tulisan. Penulis juga sudah lama menjadi ‘blogger yang kecanduan’. Samai-sampai jejak digital-nya ada di banyak tempat. Selain itu, penulis yang juga pengajar bahasa Inggris paruh-waktu, penerjemah lepas, dan penulis lepas untuk konten situs dapat dipesan jasanya secara khusus di Kontenesia (www.kontenesia.com). Bisa sekalian beramal lagi untuk setiap transaksi (terutama selama bulan Ramadan ini) : http://kontenesia.com/kontenesia-donasi-ramadan/ https://www.facebook.com/kontenesia/posts/287945154884094?__mref=message R.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Menabung Air Hujan untuk Memanen Manfaat

12 September 2019   19:21 Diperbarui: 14 September 2019   15:09 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejak kecil, saya punya kebiasaan bermain air. Tidak hanya saat mandi maupun berenang, saat hujan begitu. Bahkan, bersama adik laki-laki saya, saya punya kebiasaan mendongak dan membuka mulut saat hujan. Untuk apa, sih? Ya, dulu kami suka memperlakukan air hujan layaknya air minum biasa.

Dulu, saya belum tahu bahwa ternyata menabung air hujan memanen manfaat. Bahkan, dulu ada anggapan bahwa bermain air hujan -- apalagi saat deras -- bisa membuat badan sakit. Cukup terbukti sih, beberapa kali berhujan-hujan ria, kami kemudian terserang demam. Tapi, apa iya karena hujan?

Tentu saja tidak. Kita baru jatuh sakit bila kebetulan imunitas tubuh sedang rendah. Hujan yang membasahi pakaian dan tubuh juga otomatis menurunkan suhu tubuh, sehingga membuat kita rentan jatuh sakit. Apalagi bila kebetulan kita berdiri dekat-dekat dengan orang yang tengah terinfeksi virus.

Lalu, Mengapa Ada yang Menabung Air Hujan?

Dilansir dari sebuah artikel pada situs berita lingkungan Mongabay (tertanggal 4 Juli 2018), menabung air hujan memanen manfaat -- terutama saat musim kemarau. Dua orang petani di Desa Wlahar, Kecamatan Kalibagor, Banyumas, Jawa Tengah (Jateng) sudah melakukannya pada 29 Juni 2018 itu.

Mengingat tanaman padi bergantung pada curahan air hujan, musim kemarau dapat menjadi masalah. Musim kemarau memang tidak dapat dihindari, karena merupakan bagian dari siklus musim di negara-negara tropis -- termasuk di Indonesia. Namun, bila tidak ada manajemen air yang efektif, semua tanaman bisa mati karena kekeringan.

Akibatnya, warga dilanda kelaparan dan kehausan. Bisa sih, membeli makanan dan minuman di kota besar. Namun, jarak yang jauh juga menjadi penghambat. Selain itu, harga yang harus dibayar biasanya juga jauh lebih mahal daripada menanam dan memetik sendiri.

Barulah pada tahun 2012, masalah tersebut teratasi dengan cara membangun semacam penampungan air atau waduk mini buatan. Menurut penuturan Kepala Seksi (Kasi) Pemerintahan Daerah Desa Kalibagor, Sumanto, Yayasan Obor Tani Semarang menawarkan kerjasama berupa pembangunan embung di daerah kritis air. Saat itu, ada 25 ha lahan kritis air di perbukitan di sana.

Embung seluas 40 x 60 meter itu berkedalaman 2,5 meter.Pemprov Jateng mengalokasikan dana sebesar 500 juta rupiah saat membangunnya bersama dengan Pemkab Banyumas. Pemkap Banyumas sendiri mengalokasikan dana sebesar 100 juta rupiah. Mereka juga mendapatkan bantuan dari program CSR (community social responsibilities) sebuah BUMD (badan usaha milik daerah) Provinsi Jateng sebesar 1,1 miliar rupiah selama 3,5 tahun.

Lalu, di manakah peran Yayasan Obor di sini? Mereka menjadi pendamping para petani dalam membudidayakan hasil tanaman di lokasi kering akibat kemarau. Berdasarkan penelitian yang dilakukan untuk program ini, kelengkeng dan durian merupakan dua tanaman yang cocok untuk kondisi gersang.

Para petani memilih menanam kelengkeng. Ternyata, setelah 3,5 tahun berlalu, pohon kelengkeng berbuah dan dapat menghasilkan buah yang ranum.

Cerita Lain Kesuksesan Program Pengadaan Embung

Pada 2015, embung pun dibangun. Menurut Ketua Kelompok Tani Darma Tirta di Desa Wlahar Wetan, Sumarno, cara ini ternyata bermanfaat bagi petani. Bila dulu mereka pasrah pada nasib selama musim kemarau, kini mereka sudah bisa menanam padi dalam dua kali setahun. Bahkan saat kemarau tiba, mereka masih bisa menanam palawija.

Bahkan, embung ternyata tidak hanya efektif untuk musim kemarau. Lahan kritis pun bisa dijadikan area perkebunan, karena dialiri dengan air lewat embung.

Sekilas Tentang Embung dan Manfaatnya

Dari kedua kisah di atas, kita dapat mengetahui bahwa embung adalah cekungan yang dipakai untuk menampung air hujan. Air hujan yang ditampung (atau ditabung) berikutnya akan dimanfaatkan untuk menambah kualitas air, baik di sungai maupun di danau. Bagi petani, embung ibarat penyelamat mereka selama musim paceklik.

Dengan adanya embung (atau retention basin dalam Bahasa Inggris), inilah beberapa manfaat yang dapat dirasakan oleh warga desa:

  • Embung dapat mengairi areal sawah, terutama saat musim kemarau. Hasil pertanian dapat meningkat, yaitu panen dalam dua-tiga kali per tahun.
  • Embung juga dapat mengalirkan air ke lahan yang tandus sehingga bisa jadi area perkebunan.
  • Dapat dijadikan budidaya perikanan.

Lalu, bagaimana dengan warga kota, terutama Jakarta? Meskipun sebentar lagi tidak akan menjadi ibukota pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia, Jakarta sudah sangat terkenal sebagai kota yang rawan kekurangan air bersih. Bagaimana tidak? Lahan hijau semakin berkurang, lantai beton memanjang.

Intinya, pembangunan industri (alih-alih memperkuat sektor agraria) justru berdampak buruk pada akses untuk air bersih. Akibatnya, kita lebih banyak membeli air dalam kemasan botol plastik. Hasilnya, pengeluaran berlebih dan jumlah sampah plastik kian menumpuk -- dan ujung-ujungnya mencemari air laut. Jadinya malah merepotkan juga, bukan?

Menabung Air Hujan Ala Penduduk Urban

Lalu, bagaimana dengan penduduk urban seperti di Jakarta? Apakah mereka harus ikut menabung air hujan demi mendapatkan manfaat yang sama? Apalagi, lahan hijau di Jakarta sudah semakin langka akibat banyaknya jalan raya dan gedung-gedung bertingkat tinggi.

Jujur saja, saya belum pernah mencobanya. Seperti yang sudah saya ceritakan di awal tulisan ini, saya hanya pernah mendongak saat hujan untuk meminum air curahannya. Cara ini sebenarnya juga tidak bisa dibilang sehat dan aman, mengingat ucapan guru Geografi di SMP saya dulu.

Bila air hujan di daerah pedesaan relatif masih lebih aman, lain cerita dengan yang di kota. Uap air yang naik sebelum berkumpul menjadi awan sebelum hujan berasal dari tanah yang masih subur dan bisa ditanami tanaman apa pun. Pastinya, kandungannya masih lebih aman daripada uap air dari lingkungan perkotaan yang penuh jalan beraspal dan asap knalpot kendaraan bermotor.

Duh, semoga saya tidak salah ingat, ya. Hehehe, maklum bukan pelajar teladan dulu.

Sejauh ini, saya sudah pernah melihat satu cara konvensional untuk menampung air hujan. Bukan, bukan membangun embung seperti di desa-desa. (Pastinya tidak mungkin juga, ya.)

Salah satunya adalah dengan meletakkan ember di luar rumah saat hujan. Tidak usah jauh-jauh sampai ke jalanan, sih. Cukup letakkan di beranda depan yang tidak terhalang oleh atap.

Lalu, setelah itu biarkan hingga ember penuh. (Bahkan, kalau punya lebih dari satu ember yang sedang menganggur, pakai saja semuanya secara bergantian.) Ember yang sudah penuh dibawa ke dalam dan disimpan di tempat penyimpanan air khusus. (Biasanya sih, baskom mandi yang jauh lebih besar daripada ember yang bisa diangkut ke mana-mana.)

Apa yang bisa dilakukan dengan air hujan yang kita kumpulkan dengan cara seperti itu? Pastinya, kurang lebih sama seperti program pembuatan embung di desa, meskipun dengan skala lebih kecil. Mulai saja dari orang per orang dulu. Bila sudah merasakan manfaatnya, siapa tahu bisa naik jadi program reguler RT setempat.

'Kan Bisa Beli Air Kemasan atau Dispenser?

Hmm, mungkin komentar semacam ini akan keluar begitu membaca usulan tidak lazim saya di atas. Ibaratnya menyusahkan diri saja. Bila bisa membeli air kemasan atau untuk dispenser, untuk apa menabung air hujan? Kota besar seperti Jakarta 'kan banyak penjual air bersih.

Iya, sih. Cuma, tidak ada salahnya kita mempersiapkan cadangan air. Masalahnya, pernah kejadian beberapa tahun silam saat di rumah keluarga di daerah pinggiran Jakarta Selatan.

Waktu itu juga pas musim kemarau. Entah kenapa, tiba-tiba semua air yang keluar dari keran berwarna keruh, tidak jernih seperti biasanya. Air yang keluar sedikit bercampur dengan tanah.

Dugaan saya saat itu? Tanah mengering sehingga sulit mendapatkan air tanah, terutama untuk memasak dan mandi. Bahkan, di beberapa rumah tetangga ada yang sampai aliran airnya mati. Waduh, bagaimana nanti yang sudah terburu-buru sekolah atau ke kantor? Masa tidak pakai mandi pagi, sih?

Akhirnya, kami terpaksa pergi ke rumah saudara untuk mandi air yang lebih bersih. Moga-moga sih, kami tidak perlu mengalami hal itu lagi.

Hal yang sama juga sempat beberapa kali terjadi saat saya tinggal di sebuah rumah kos. Karena aliran airnya menggunakan tenaga listrik, bisa terbayang kesalnya saat mati listrik. Mau mandi pastinya tidak mungkin.

Intinya, saya juga tidak mau harus terus-terusan merepotkan orang lain, seperti saudara, tetangga, atau teman yang punya akses air bersih di rumah mereka lebih lancar. Bagaimana bila kebetulan mereka mengalami nasib serupa dan tidak bisa membantu? Masa harus menunggu hingga musim hujan berikutnya atau listrik menyala?

Manfaat Menabung Air Hujan Bagi Warga Perkotaan

Meskipun belum pernah sungguh-sungguh mencobanya (alias iseng-iseng saja), saya sudah bisa memperkirakan manfaat menabung air hujan bagi warga perkotaan. Beberapa manfaatnya mungkin ini:

  • Menyimpan air cadangan saat darurat, seperti: mati listrik atau kehabisan air tanah.
  • Untuk mengairi tanaman di taman. (Apalagi, sekarang mulai banyak yang punya tanaman hidroponik dan tabulampot. Buat yang belum tahu, tanaman hidroponik adalah tanaman bumbu dan sayuran dalam versi kecil, sementara tabulampot adalah tanaman versi kecil untuk buah-buahan. Tabulampot sendiri singkatan dari tanaman buah dalam pot.)
  • Kebutuhan sehari-hari, seperti mandi, masak, dan minum air. Tentu saja, sebelumnya air hujan tetap harus dimasak dulu supaya bersih dan aman untuk dikonsumsi.

Cara Lain untuk Membantu Mendatangkan Hujan

Tentu saja, tidak ada yang ingin mengalami musim kemarau berkepanjangan. Bagaimana untuk menabung air hujan berikutnya, bila musim hujan belum tentu datang lagi dalam waktu dekat? Pastinya, kita harus memikirkan cara lain untuk membantu mendatangkan hujan.

Beberapa cara di bawah ini mungkin sudah dicoba oleh kalian, seperti:

  • Berdoa.
  • Mulai lebih peduli pada lingkungan, seperti tidak membuang sampah sembarangan.
  • Mengurangi pemakaian plastik agar sampahnya yang tidak mudah terurai tidak merusak tanah.
  • Menanam tanaman, meskipun dalam skala kecil. Misalnya: tanaman hidroponik atau tabulampot.

Wah, ternyata menabung air hujan benar-benar memanen manfaat. Meskipun tidak seperti di desa yang bisa membangun embung, warga kota sebaiknya juga mempertimbangkan cara ini untuk mengatasi kekeringan saat musim kemarau. Setidaknya, kita tidak perlu menghabiskan banyak uang untuk membeli berbotol-botol plastik air kemasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun