Mohon tunggu...
Ruby Astari
Ruby Astari Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, penerjemah, pengajar Bahasa Inggris dan Indonesia, pembaca, dan pemikir kritis.

"DARI RUANG BENAK NAN RIUH": Untuk menjelaskan perihal penulis yang satu ini, cukup membaca semua tulisannya di sini (dan mungkin juga di tempat lain). Banyak dan beragam, yang pastinya menjelaskan satu hal: Ruang benaknya begitu riuh oleh banyak pemikiran dan perasaan. Ada kalanya mereka tumpang-tindih dan bukan karena dia labil dan irasional. Seringkali daya pikirnya melaju lebih cepat dari tangannya yang menciptakan banyak tulisan. Penulis juga sudah lama menjadi ‘blogger yang kecanduan’. Samai-sampai jejak digital-nya ada di banyak tempat. Selain itu, penulis yang juga pengajar bahasa Inggris paruh-waktu, penerjemah lepas, dan penulis lepas untuk konten situs dapat dipesan jasanya secara khusus di Kontenesia (www.kontenesia.com). Bisa sekalian beramal lagi untuk setiap transaksi (terutama selama bulan Ramadan ini) : http://kontenesia.com/kontenesia-donasi-ramadan/ https://www.facebook.com/kontenesia/posts/287945154884094?__mref=message R.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

"Di Rumah Denganmu"

17 Februari 2016   12:52 Diperbarui: 17 Februari 2016   13:26 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku terbangun di kamar yang sama, di rumah tua dan besar itu. Kusibak tirai dan kutatap halaman luar. Matahari bersinar cerah. Rombongan remaja berjalan ke sekolah, mengobrol dan tertawa riang.

Samar-samar kudengar lagu “Details In The Fabric” – nya Jason Mraz dan James Morrison. Mungkin dari ponselnya:

“Calm down

Deep breaths

And get yourself dressed

Instead of running around

And pulling all your threads

And breaking yourself up...”

Aku rindu keluar rumah, terutama ke sekolah. Anehnya, aku rindu pergi ke sekolah. Bahkan, banyak hal – dan orang-orang – yang amat kurindukan.

Tok, tok!

Aku berbalik dan otomatis berkata, "Masuklah.” Kunci diputar dan pintu terbuka. Dia datang dengan sarapan untukku dan senyum konyol di wajahnya yang berkerut.

"Hai, sayang," sapanya riang sambil meletakkan nampan di atas meja. Kali ini, ada roti dengan selai nanas dan jus jeruk. "Tidurmu nyenyak semalam?"

"Lumayan." Aku mengangkat bahu, lalu memejamkan mata ketika ia mencium keningku. Aku tetap kaku, bahkan ketika lengan besarnya masih memelukku. Perasaan dingin menjalariku, namun aku berusaha tidak memikirkannya. Bahkan, aku tidak ingin merasakan apa-apa.

"Kamu cantik sekali," bisiknya lirih, yang membuatku makin merinding. Dia tersenyum padaku. "Habiskan sarapanmu, ya? Aku mau pergi sebentar dulu. "

"Kemana?"

Dia menciumku, kali ini di bibir. Aku langsung menutup mulutku rapat-rapat.

"Seperti biasa, tidak akan lama," katanya lembut. "Karena kamu sangat penurut akhir-akhir ini, kamu boleh berjalan sekitar ruang tamu."

"Oke." Lalu dia pergi, mengunci dan bahkan menggembok pintu dari luar. Kudengar langkah kakinya menjauh, sementara kuperhatikan sekitar.

Tidak ada TV dan stereo. Semua jendela diteralis, sehingga sulit dipecahkan. Sayangnya, ini juga daerah terpencil.

Kutatap sarapanku. Bulan pertama di sini, aku mencoba memberontak melawannya dengan menolak makan dan minum. Aku sudah siap untuk mati kapan saja, karena - empat hari setelah usaha pertama - aku jatuh sakit karena dehidrasi dan hampir mati. Dia berusaha menyembuhkanku. Satu-satunya hal yang masih membuatku tetap ingin hidup adalah saat dia mempermainkan pikiranku malam itu:

"Katamu kamu ingin melihat mamamu lagi."

Sudah setahun, pikirku tersadar, sejak terakhir aku melihat Mama. Sejak lelaki aneh ini membius dan mengurungku di rumah ini. Tuhan, semoga Mama belum menyerah mencariku...

Air mataku menetes saat mulai memikirkan Mama, tapi aku segera mengusapnya. Kuhabiskan roti dan jus jeruk. Aku harus tetap kuat.

Aku tidak tahu mengapa dia menculikku. Katanya dia mencintaiku dan hanya ingin selalu bersamaku. Dia bahkan tidak peduli saat aku menangis dari balik pintu terkunci:

"Tolong, aku nggak mau di sini! Aku mau pulang! Aku nanti dicari Mama!"

Ucapanku membuatnya menangis, tetapi dia mengancam akan membunuhku sebelum melepaskanku...

“If it's a broken pot, replace it

If it's a broken arm then brace it

If it's a broken heart then face it...”

--- // ---

Dia pulang malam itu. Kuputuskan untuk mulai mengikuti kemauannya. Tak hanya merangkulnya, kali ini kubalas ciumannya.

"Senangnya sudah pulang," gumamnya sambil tersenyum. "Senangnya di rumah denganmu."

Mungkin aku bisa mengulur waktu – dan perlahan membuatnya lengah. Setelah bisa bebas, barulah harus kutemukan jalan pulang ...

“Hold your own

Know your name

And go your own way

And everything will be fine...”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun