"Hai, sayang," sapanya riang sambil meletakkan nampan di atas meja. Kali ini, ada roti dengan selai nanas dan jus jeruk. "Tidurmu nyenyak semalam?"
"Lumayan." Aku mengangkat bahu, lalu memejamkan mata ketika ia mencium keningku. Aku tetap kaku, bahkan ketika lengan besarnya masih memelukku. Perasaan dingin menjalariku, namun aku berusaha tidak memikirkannya. Bahkan, aku tidak ingin merasakan apa-apa.
"Kamu cantik sekali," bisiknya lirih, yang membuatku makin merinding. Dia tersenyum padaku. "Habiskan sarapanmu, ya? Aku mau pergi sebentar dulu. "
"Kemana?"
Dia menciumku, kali ini di bibir. Aku langsung menutup mulutku rapat-rapat.
"Seperti biasa, tidak akan lama," katanya lembut. "Karena kamu sangat penurut akhir-akhir ini, kamu boleh berjalan sekitar ruang tamu."
"Oke." Lalu dia pergi, mengunci dan bahkan menggembok pintu dari luar. Kudengar langkah kakinya menjauh, sementara kuperhatikan sekitar.
Tidak ada TV dan stereo. Semua jendela diteralis, sehingga sulit dipecahkan. Sayangnya, ini juga daerah terpencil.
Kutatap sarapanku. Bulan pertama di sini, aku mencoba memberontak melawannya dengan menolak makan dan minum. Aku sudah siap untuk mati kapan saja, karena - empat hari setelah usaha pertama - aku jatuh sakit karena dehidrasi dan hampir mati. Dia berusaha menyembuhkanku. Satu-satunya hal yang masih membuatku tetap ingin hidup adalah saat dia mempermainkan pikiranku malam itu:
"Katamu kamu ingin melihat mamamu lagi."
Sudah setahun, pikirku tersadar, sejak terakhir aku melihat Mama. Sejak lelaki aneh ini membius dan mengurungku di rumah ini. Tuhan, semoga Mama belum menyerah mencariku...