Mohon tunggu...
Rubeno Iksan
Rubeno Iksan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Sejarah S1 di Universitas Negeri Semarang

Pena lebih tajam daripada pedang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengapa Soekarno Begitu Didewakan di Indonesia?

12 Juli 2023   19:25 Diperbarui: 12 Juli 2023   19:27 1035
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peresmian Patung Soekarno yang bentuknya raksasa di Bandung ini (tingginya 22 meter) nampaknya membuat geger jagat maya. Bahkan, ada yang menilai bahwa patung tersebut merupakan upaya PDI Perjuangan untuk mendongkrak popularitas Soekarno dan suara untuk pemilu 2024 nanti. 

Selain di Bandung, patung Soekarno juga ditemui di depan gedung Kemenhan dan depan Stasiun Semarang Tawang, yang notabene adalah basis PDI Perjuangan dalam Pemilu 2019 dengan perolehan suara yang cukup tinggi (di Jawa Tengah mendapatkan persentase suara 29.71%, dikutip dari Sindonews). 

Pembuatan patung tersebut menunjukkan bahwa glorifikasi Soekarno sebagai simbol pemenangan partai berlambang banteng tersebut dan di kalangan masyarakat awam masih ada, meskipun de-Soekarnoisasi sudah dilakukan pada rezim Orde Baru dan bagi kalangan yang menginginkan syariat Islam di Indonesia, orang-orang Malaysia, ataupun masyarakat Aceh, Soekarno bukanlah seorang pahlawan, namun sebagai sebuah tokoh yang membawa bencana dan represif.

Lantas, kembali ke pertanyaan, mengapa Soekarno didewakan atau diglorifikasi di Indonesia?

Penggunaan Sejarah sebagai Alat untuk Menanamkan Nasionalisme

Sebelum masuk ke dalam inti jawaban, terlebih dahulu harus memahami apa arti sejarah sebenarnya. Menurut Kuntowijoyo, sejarah adalah sebuah upaya merekonstruksi masa lalu untuk kepentingan sekarang. Dengan demikian, sejarah bisa dimanipulasi, didistorsi, ataupun diutak-atik sesuai dengan kepentingan penguasa. 

Hal ini sejalan pula dengan pendapat Louis Gottschalk dalam bukunya 'Mengerti Sejarah' yang mengatakan bahwa fungsi sejarah adalah menanamkan jiwa nasionalisme dan patriotisme kepada warga negaranya.

Pendapat Gottschalk tersebut dapat diterima dalam konteks Indonesia, mengingat sejarah-sejarah yang ditulis oleh para sejarawan pendidik adalah sejarah yang menekankan pada aspek nasionalisme dan patriotisme, sehingga glorifikasi pada tokoh-tokoh tertentu (Soekarno, RA. Kartini, Boedi Oetomo, dan lain-lain) terisi secara keseluruhan dalam penulisan historiografi Indonesia. 

Soekarno digambarkan sebagai founding father yang jasanya begitu besar bagi berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, RA. Kartini digambarkan sebagai tokoh yang memperjuangkan persamaan derajat antara laki-laki dan perempuan, dan Boedi Oetomo yang dianggap sebagai pelopor dari Kebangkitan Nasional, padahal lingkup dari BO sendiri hanya tersusun atas dasar Jawaisme dan kepercayaan Kejawen. 

Soekarno 'yang didewakan'

Dari pendapat-pendapat tersebut, sangat betul jika ada fenomena glorifikasi pada tokoh-tokoh besar (dalam kacamata Hegel adalah 'teori orang-orang besar') dalam penulisan sejarah di Indonesia. Hal ini berlaku apabila masyarakat awam atau kalangan nasionalis-sekuler menilai Soekarno, yang jasanya melebihi Mohammad Natsir, Mohammad Roem, Buya Hamka, KH. Isa Anshary, Kasman Singodimedjo, maupun tokoh nasional lainnya yang berasal dari kalangan Islam. 

Soekarno digambarkan sebagai 'sosok yang membebaskan Indonesia dari cengkeraman kolonialisme dan imperialisme' dan 'putra sang fajar' (mengacu pada hasil wawancara Cindy Adams kepada Soekarno) yang diglorifikasi setinggi langit dengan membuang kiprah dari tokoh lainnya, padahal mereka juga berperan dalam kemerdekaan bersama Panitia 9.

Kultus terhadap Soekarno sendiri berakar ketika masa Demokrasi Terpimpin, ketika ia mengangkat dirinya sebagai Presiden Seumur Hidup dalam Sidang MPRS pada tahun 1963. Selain gelar tersebut, ia menggelari dirinya dengan seabreg gelar di tengah situasi ekonomi dan politik yang masih bergejolak: Mandataris MPRS, Panglima Besar Revolusi, Panglima Angkatan Bersenjata, dan gelar lainnya. 

Semenjak itu, glorifikasi terhadap Soekarno pun diintensifkan. Bahkan, bukunya yang berjudul 'Di Bawah Bendera Revolusi' diterbitkan secara massal dan menjadi alat indoktrinasi bagi institusi manapun, termasuk pendidikan. 

Pembangunan proyek-proyek mercusuar di tengah kesulitan ekonomi ditujukan pada kepentingan 'revolusi' Indonesia, misalnya pembangunan Monumen Irian Barat di Lapangan Banteng. Konsepsi politik Nasakom, Manipol-USDEK, Berdikari, dan Tri Sakti juga digembar-gemborkan Soekarno sebagai ideologi pemersatu bangsa Indonesia. Konsepsi ini dianggap sebagai way of life dari bangsa Indonesia, yang ditanamkan dari jenjang pendidikan dasar hingga tinggi, bahkan dalam dunia kerja. 

Dengan runtuhnya Demokrasi Terpimpin pada tanggal 11 Maret 1966 dan diangkatnya Soeharto sebagai pejabat presiden, indoktrinasi konsepsi politik Soekarno seperti Manipol-USDEK dihilangkan serta dimulainya proses penghilangan jejak Soekarno (de-Soekarnoisasi) dengan membuang apapun yang berbau Marhaen, kiri, ataupun segalanya yang berkaitan dengan Soekarno. Ketika masa reformasi, apalagi dengan naiknya Megawati Soekarnoputri sebagai presiden, Soekarno dibersihkan nama baiknya dan mengembalikan jejak-jejak Soekarno secara perlahan.

Padahal....

Dalam konteks pembahasan ini, ungkapan Gus Dur (mantan presiden ke-4, 1999-2001) tentang Soekarno dan Soeharto bisa dikatakan relate dengan kejadian sejarah yang lalu. 'Soekarno tidak sebaik yang kau kira, Soeharto tidak seburuk yang kau kira', kurang lebih itulah penilaian Gus Dur tentang mereka. Apa maksud dari 'Soekarno tak sebaik yang kau kira' yang diucapkan Gus Dur?

Hal ini merujuk pada perlakuan Soekarno terhadap lawan politiknya, apapun haluannya. Ia pernah mengkriminalisasi kawan seperjuangannya sendiri, Sutan Sjahrir dengan tuduhan menyokong gerakan PRRI-Permesta. 

'Boeng Ketjil' ini kemudian menjadi tahanan politik Soekarno hingga kemudian diasingkan ke Swiss dan wafat di sana pada tahun 1966. Namun, dampak lebih besar dirasakan oleh kalangan Islam. Masyumi dibubarkan dan dilarang pada tahun 1960 dengan alasan yang sama dengan penangkapan Sutan Sjahrir, banyak pentolannya seperti Mohammad Natsir dipenjara hingga runtuhnya Orde Lama.

Buya Hamka, ulama Minangkabau yang sangat menentang kebijakan Soekarno yang pro-komunis, dipenjara dengan tuduhan 'bersekongkol dengan Malaysia'. Sang perintis Majelis Ulama Indonesia ini bahkan dikabarkan pernah disiksa di penjara dan menulis tafsir Al-Azhar selama di dalam penjara. 

Ditarik ke masa Demokrasi Liberal, tepatnya pada tahun 1953, Soekarno menentang pemberlakuan syariat Islam di Aceh dalam pidatonya di Amuntai, sehingga menimbulkan protes dari kalangan Islam, termasuk Nahdlatul Ulama. 

Soekarno justru menginginkan agar Aceh disatukan dengan Sumatra Utara yang mayoritas Kristen Protestan, yang memunculkan pemberontakan dari Daud Beureueh yang sebelumnya berjuang bersama Soekarno. Dengan adanya peristiwa tersebut, timbul kesan bahwa Soekarno mengkhianati rakyat Aceh. 

Epilog

Setiap manusia ada kekurangan dan kelebihan, begitulah seharusnya sejarawan menilai seseorang namun sesuai dengan fakta yang ada. Ketika menilai Soekarno, perlu ada perbandingan juga dari jasa dan dosanya. Namun, demi kepentingan nasionalisme dan patriotisme, dalam buku-buku pelajaran sejarah, fakta sejarah tersebut sengaja tidak dimuat. 

Menurut Asvi Warman Adam dalam buku 'Pelurusan Sejarah Indonesia', penghilangan fakta sejarah demi nasionalisme sudah dilakukan oleh Jepang, terutama yang terkait dengan kejahatan perang mereka di Asia Timur dan Tenggara, di samping glorifikasi sejarah seperti di Indonesia. 

Maka tidak heran, dalam buku pelajaran sejarah, tidak ada fakta sejarah yang berkaitan dengan lembaran hitam bangsa Indonesia. Yang ada hanya glorifikasi Soekarno dan Soeharto, perjuangan militer, Boedi Oetomo sebagai pelopor kebangkitan nasional, dan RA. Kartini sebagai pelopor persamaan derajat antara laki-laki dan perempuan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun