Mohon tunggu...
Faiz Badridduja
Faiz Badridduja Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

menyukai sejarah, sastra dan studi-studi keislaman

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Pandangan Para Filsuf tentang Jiwa di Era Hellenis dan Abad Pertengahan

26 Oktober 2020   16:53 Diperbarui: 26 Oktober 2020   17:06 751
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

  • Periode Hellenistik

Setelah periode SPA (Socrates, Plato dan Aristoteles), mutu filsafat -menurut Mayer- semakin merosot dengan menunjukkan kemunduran yang signifikan, hal itu terjadi karena sejalan dengan perkembangan politik saat itu dimana Alexander memporakporandakan banyak imperium kecil dan membangun kerajaannya sendiri hingga diberi gelar sang agung (the great).

Pada Periode Hellenistik ini banyak disaksikan reaksi-reaksi yang menetang metafisika, filsafatnya lebih memusatkan perhatian pada masalah-masalah etika dan pengetahuan-pengetahuan khusus, istilah hellenisme sendiri itu merujuk kepada bahasa yunani yang berarti berbicara atau berkelakuan seperti orang yunani. Sedangkan menurut Eksiklopedia Americana (14:70), sesorang bisa dikatakan hellene bila ia berbicara dan menggunakan budaya yunani dimanapun ia berada.

Istilah ini mulai digunakan di abad ke-19 sejak diperkenalkan oleh sejarawan Jerman bernama Droysen untuk menunjukkan periode dimana era itu dimulai sejak meninggalnya Alexander yang Agung (tahun 323 SM) sampai kira-kira tahun 30 SM. Dengan kata lain, zaman itu dimulai sejak wafatnya Aristoteles (322 SM) sampai zaman Philo (20 SM -- 54 M) alias permulaan berkembanganya agama Kristen.

Para filsuf yang terkenal di periode ini diantaranya kelompok Sinisisme, kaum Cyrenaic, Paripatetic, Epicureanisme, Stoisisme, Skeptisisme, dan seorang tokoh bernama Philo. Pemikiran-pemikan Filsuf periode hellenistik tentang psikologi dapat disimpulkan sebagai berikut :

  • Belajar menjadi lebih terspesialisasi karena pemisahan antara filsafat dan sains, dan juga karena memudarnya pengaruh Athena dalam akademik dan muncul pusat-pusat pengetahuan yang baru seperti Antioch atau Antakya, Rhodes, Perganum, Alexandria dll.
  • Etika menjadi perhatian yang dominan dan menegasikan metafisika, selain itu yang banyak dipersoalkan adalah bagaimana manusia dapat mencapai kehidupan yang terbaik dengan moral yang tinggi.
  • Salah satu mazhab dalam filsafat etika periode hellenistik adalah ekstrem skeptisisme yang berlawanan dengan asetisisme.
  • Jiwa dalam pandangan Filsafat Periode Hellenistik itu bergantung pada kondisi fisik tubuhnya, dimana ketika ia tidak stabil maka jiwanyapun begitu, diikuti oleh ketidakstabilan mental.
  • Abad Pertengahan

Permulaan Abad Pertengahan barangkali dimulai sejak kelahiran Plotinus (204 M) dan berakhir sejak kemunculan Rene Descartes di era Renaissance dan beralih ke periode filsafat modern.

  • Plotinus

Jiwa --menurut Plotinus- merupakan sesuatu kekuatan ilahiah, oleh karenanya ia adalah sumber kekuatan. Dunia dan alam semesta-pun memiliki jiwa, jiwa itu hanya satu tanpa bisa dibagi secara kuatitas (bersandar kepada teori metafisika Plotinus The One, The Mind and The Soul), jiwa setiap individu juga satu dengan menemukan fakta bahwa ia ada di setiap badan individu, bukan sebagian disana atau sebagian disini, tapi juga tidak bisa dikatakan bahwa jiwa saya dan jiwa anda itu sama.

Meski demikian, yang dimaksud jiwa itu satu atau jiwa itu bersifat individual ialah masih ada hubungan antar jiwa dimana seseorang sedang menderita maka yang lain pun merasakan karena melihat penderitaan itu, itulah bukti hubungan jiwa tersebut yang meski di badan yang berbeda namun mampu merasakan yang sama, disitulah letak kesatuan jiwa. Inilah yang dalam istilah Plotinus disebut Identitas dalam Varietas.

Selain itu, teori jiwa Plotinus juga mencakup tentang reinkarnasi, meski pemikirannya sama dengan Plato bahwa jiwa itu Immortal dan jiwa sudah ada sejak sebelum lahir, ditambah bahwa jiwa itu tercipta dengan memancar atau berupa pancaran (teori emanasi Plotinus). 

Ajaran Reinkarnasi Plotinus merupakan perjalanan jiwa yang sudah terpisah dari tubuh material, reinkarnasi tidak berlaku bagi jiwa yang bersih, tinggi dan suci, jiwa yang seperti itu akan langsung kembali menyatu pada The One (Yang Maha Esa) alias Tuhan. 

Jiwa yang bereinkarnasi adalah jiwa yang jahat, kotor dan rendah, jiwa yang jahat akan disiksa di neraka sebagai hukuman hingga lama-kelamaan ia akan diangkat ke syurga, jadi pandangan Plotinus tentang neraka ialah ia tidak kekal bagi jiwa alias hanya sementara. Namun jika jiwa itu masih rendah, ia dikembalikan ke tubuhnya (reinkarnasi), yaitu jiwa yang masih terikat dengan dunia dan ingat kepada keluarga, teman dan lain-lain. Jiwa yang tinggi harus lupa kepada segala sesuatu yang bersifat rendah, ia tidak akan mengingat apapun kecuali Yang Maha Tinggi.

  • Augustinus

Teori jiwa bahwa ia Immaterial (sama dengan Plato) dibuktikan oleh Augustinus dengan mengatakan bahwa jiwa itu ada di dalam tubuh/badan dan ada dimana-mana di waktu yang bersamaan, jika jiwa itu material ia hanya akan terikat dengan tempat tertentu dan dalam satu badan saja.

Jiwa --menurut Augustinus- memiliki tiga kegiatan pokok yaitu mengingat, mengerti, dan berkehendak (mau), oleh karenanya ia memiliki atau menggambarkan ketritunggalan alam (the cosmic trinity).

Augustinus menolak pandangan Neo-Platonisme bahwa dunia jiwa atau dunia roh itu ada (exist). Menurutnya yang ada itu jiwa yang individual yang terdapat dalam tubuh yang berada dimana-mana, jika tubuh tidak ada maka jiwa pun tidak ada, meski demikian Augustinus menyatakan bahwa Jiwa tidak bergantung pada badan, sebab ketika seseorang mati maka badannya akan binasa sedangkan jiwanya tidak.

Selain itu, Augustinus juga menolak pandangan Plato bahwa Jiwa sudah ada sejak Praeksistensi (sebelum lahir atau dalam kandungan) dan menolak pandangan Plotinus tentang penciptaan jiwa itu dengan emanasi (memancar atau berupa pancaran), menurutnya jiwa tercipta memang secara alamiah dan bentuk kewajaran menempati sebuah tubuh/badan tertentu.

Ia ingin menegaskan bahwa jiwa itu lebih tinggi dan lebih hakikat daripada badan. Reinkarnasi juga pandangan yang tidak dapat diterima oleh Augustinus, argumentasi yang ia gunakan adalah reason (pikir) dan soul (jiwa) itu bersatu, karena pikiran itu abadi maka jiwa pun sama, pikiran bersatu dengan kebenaran jadi kebenaran itu abadi, jiwa itu sesuatau yang pokok atau utama bagi kelangsungan hidup badan, bertangung jawab mengatur fungsi badan, bila badan rusak jiwa tidak ikut bersama badan, jiwa tetap abadi.

  • Anselmus

Credo ut Intelligam, merupakan istilah terkenal abad pertengahan yang diungkapkan oleh Saint Anselmus, ungkapan ini menggambarkan bahwa ia mendahulukan iman daripada akal atau wahyu harus diterima lebih dahulu sebelum memulai berfikir menggunakan akal pikiran, secara tekstual bermakna percaya agar mengerti (believe in order to understand) atau secara sederhana berarti percayalah lebih dahulu supaya mengerti.

Jadi pandangan anselmus tentang jiwa pun itu terpengaruh dengan ajaran agama saat itu (kristen) yang bersifat dogmatis dan doktrinisasi. Contohnya adalah jiwa yang berdosa dan dosa warisan dalam konsep kristen, sejak awal dosa warisan itu memang sudah ada dan terwaris ke jiwa-jiwa baru yang menjadi keturunannya, argumen ini harus dipercayai lebih dahulu baru kemudian akan mengerti dan memahami, mungkin untuk menguatkan konsep itu atau untuk melemahkannya.

Hal ini sangat bertentangan dengan sifat filsafat rasionalisme yang mengedepankan pemahaman atau pengertian, setelah itu barulah diterima atau diimani, tapi masih ada kemungkinan tidak diterima atau diimani jika tak rasional.

  • Thomas Aquinas

Teori Aquinas tentang jiwa amatlah sederhana, menurutnya jiwa dan raga itu memiliki hubungan yang pasti dimana raga menghadirkan matter dan jiwa menghadirkan form, yakni prinsip-prinsi hidup yang aktual. Kesatuan antar dua hal itu bukan terjadi karena kebetulan, akan tetapi itu diperlukan untuk terwujudnya kesempurnaan manusia.

Jiwa --dalam pengertian Aquinas- ialah kapasitas intelektual (pikiran) dan kegiatan vital kejiwaan, oleh karena itu disimpulkan darinya manusia adalah makhluk berakal dan konsekuensinya adalah jiwa harus membimbing raga karena ia lebih tinggi daripada raga. Akan tetapi --berlawanan dengan Augustinus- Jiwa itu bergantung kepada raga, sebab kegiatan yang dilakukan oleh tubuh itu mempengaruhi jiwa yang terdapat di dalamnya.

Aquinas membagi jiwa ke dalam tiga tipe ; (a) jiwa vegetatif yang hanya mengatur tumbuhan, (b) jiwa sensitif yang hanya mengatur kehidupan hewan, (c) dan jiwa rasional yang mengatur kehidupan manusia, jiwa yang rasional inilah --yang menurut Aquinas- yang merupakan manifestasi kehidupan yang tertinggi serta menyuguhkan supremasi intelek di atas benda (tumbuhan) dan hewan atau binatang ,secara ekplisit terlihat mirip dengan teori Aristoteles.

Sekalipun jiwa itu satu, tapi kemampuannya itu terbagi tiga yaitu kemampuan mengindra (sensation), kemampuan berpikir (reason), dan nafsu (appetite) yang mencakup kemauan atau berkehendak atau berkeinginan. Sedikit berbeda dengan Augustinus tentang kegiatan pokok jiwa (dalam teori the cosmic trinity).

Meski pendapatnya itu sama dengan Plato dan Augustinus tentang jiwa itu immaterial, tapi cara pembuktiannya itu berbeda, menurut Aquinas bukti yang menunjukkan bahwa jiwa itu immaterial adalah karena ia mampu memikirkan objek-objek immaterial pula serta memiliki kemampuan untuk memikirkan hal-hal yang bersifat universal.

Kedudukan jiwa dalam badan itu hanya ketergantungan yang bersifat ekstrinsik, konsekuensinya adalah Aqunas harus mempertahankan bahwa jiwa Immortal (abadi), argumentasi yang digunakan dalam menyimpulkan bahwa jiwa itu tidak dapat rusak adalah ; penyebab kerusakan itu ada dua, dari dalam (dirinya sendiri) dan dari luar, (1) jiwa adalah form, artinya memberi kehidupan pada matter (raga) yang lantas mengaktual, pemberi kehidupan tidak boleh rusak karena dirinya sendiri jadi itu tidak mungkin, ketika raga rusak maka jiwa akan memisahkan diri.(2) sebab dari luar adalah karena jasad, karena jasad lebih rendah dari dari jiwa, ia mendapatkan form dari jiwa agar bisa mengaktual, maka ketika ia rusak ia tidak mungkin memberi pengaruh (merusak) kepada jiwa.

Daftar Pustaka

Ahmad Tafsir Prof, Dr, Filsafat Ilmu, Bandung : Rosda Karya (2003), cetakan kedua belas.

Frederick Mayer, A History of Ancient & Medieval Philosophy, New York : American Book Company (1950).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun