Mohon tunggu...
Rosa Syahruzad
Rosa Syahruzad Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pengebirian Demokrasi

21 Februari 2018   09:05 Diperbarui: 21 Februari 2018   11:15 594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Diskusi intelektual memang tidak pernah habis. Salah satunya hangat dibicarakan saat ini, Rancangan Undang-Undang Revisi Kitab Umum Hukum Pidana (RUU KUHP) yang rasanya tidak selesai-selesai. Baik secara harfiah oleh wakil-wakil rakyat pemegang kekuasaan legislatif yang duduk di bangku Senayan, maupun pembahasan di media sosial, forum diskusi, dan wadah-wadah lain. Apa masalahnya?

Kitab Umum Hukum Pidana yang kita gunakan sekarang ini sudah uzur. Tahun ini, 2018, umurnya persis satu abad. KUHP berlaku sejak 1 Januari 1918 dengan nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie. Ketika kalimat proklamasi dideklarasikan oleh Ir. Soekarno di Jalan Pegangsaan Nomor 56, seharusnya diberlakukan peraturan baru, bukan? Bukankah itu merupakan peninggalan Belanda yang kebetulan telah menjajah kita selama lebih dari tiga abad?

Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan setelah Indonesia merdeka mengatakan, "Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini." seperti tertulis pada Aturan Peralihan pasal II UUD 1945 sebelum amandemen. Pada saat itu dokumen serupa belum dibuat mengingat keadaan yang genting pascakemerdekaan. Akhirnya, Wetboek van Strafrecht pun terus diberlakukan. Seiring berjalannya waktu, beberapa pasal pun akhirnya dicabut karena sudah tidak relevan. Apalagi Wetboek van Strafrecht merupakan perundang-undangan peninggalan Belanda yang masih memegang semangat kolonialisme.

Sekarang, hangat dibicarakan tentang revisi KUHP yang tengah didiskusikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sebenarnya usaha untuk memperbarui KUHP ini telah dilakukan berkali-kali. Namun, tidak ada hasil yang memuaskan. Akhirnya kita terus kembali kepada Wetboek van Strafrecht yang sekarang umurnya seratus tahun.

Revisi KUHP sendiri bukanlah hal yang buruk. Sah-sah saja, logis. Zaman terus berubah, apakah KUHP akan dibiarkan ketinggalan?

Indonesia adalah negara demokrasi. Hal ini tidak bisa diganggu gugat lagi. Terutama mengingat masa sebelum 1998. Pada saat itu "demokrasi" hanya ada di mulut belaka. Kebebasan pers sempit. Tidak ada ruang untuk kritik. Kontrol sosial nol. Ketika ada yang bicara, nyawa harganya. Petrus terjadi di banyak tempat. Rakyat hidup dalam selimut kediktatoran. Berpuluh-puluh tahun. Semua berubah pada 1998. Rakyat meledak. Tidak lagi diam diri menerima opresi. Reformasi mengembalikan hak dan kewajiban demokrasi yang dimiliki rakyat Indonesia.

Demokrasi, dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Itulah semboyan yang selalu dibawa-bawa. Ini berarti negara adalah milik rakyat. Rakyat berhak, tidak, berkewajiban untuk turut andil dalam penyelenggaraan negara. Itu prinsip dasar.

Lantas, dua puluh tahun pascarevolusi, demokrasi itu dikebiri?

Pasal 238 ayat (1) draf RKUHP versi 2 Februari 2018 menyebutkan "Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori I pejabat.

Apa artinya?

Indonesia negara demokrasi nan majemuk. 261,1 juta penduduk. Ini berarti ada 261,1 juta suara di negeri ini dengan pendapatnya masing-masing. Masalah trivial seperti bubur ayam diaduk atau tidak saja pendapatnya bervariasi. Apalagi dengan hal vital yang menyangkut kepentingan umum? Masyarakat berperan dalam kontrol sosial. Kontrol sosial berfungsi untuk menjaga penguasa di jalur yang benar dalam memberikan upaya terbaik untuk kebaikan rakyatnya. Namun, ketika melakukan kontrol sosial sebelas dua belas dengan lima tahun di jeruji besi, apa yang akan rakyat pilih?

Betul, ayat (2) dari pasal tersebut menyebutkan "Tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri." Namun, tidakkah terasa janggal? Dimanakah batas antara mencemooh karena rasa dengki dan mengkritik untuk kepentingan umum? Sebuah garis yang subjektif. Kata "penghinaan" dengan mudah bisa dimultitafsir. Dengan kata lain, pasal ini sangat berpotensi untuk dijadikan pasal karet. Apakah aturan ini akan digunakan untuk menjaga takhta pemerintahan?

Tidak hanya itu, pasal 239 draf Rancangan Undang-Undang KUHP juga menyebutkan, "Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV." Menggunakan teknologi informasi merupakan hak asasi di zaman ini. Pembungkaman sarana ini merupakan pembungkaman suara rakyat abad ke-21. Apakah negara ingin rakyat diam?

Pasal tentang penghinaan presiden ini sebetulnya telah diperdebatkan cukup lama. Bahkan, aturan ini pun pernah dibahas di Mahkamah Konstitusi. Seperti yang kita ketahui, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk menguji materi peraturan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945. Mahkamah Konstitusi telah membahas masalah pasal penghinaan presiden pada tahun 2006 dan 2015. Putusan akhirnya adalah untuk membatalkan pasal-pasal tersebut. Alasannya jelas, hal ini melanggar manifestasi demokrasi yang diamanatkan konstitusi. Sebuah pertanyaan besar muncul ketika para pemegang tampuk kekuasaan tidak mengindahkan lembaga yang berwenang mengontrol kesesuaian jalannya pemerintahan dengan amanat di UUD 1945. Mengapa aturan ini keluar lagi?

Bukan berarti kita bisa mencemooh presiden dan wakil presiden tanpa alasan yang jelas. Suatu bentuk penghormatan tentu perlu dilakukan. Tidak hanya kepada presiden ataupun wakilnya, namun sebagai manusia yang bermartabat dan saling menghargai. Namun, jangan sampai suatu penghormatan itu dilakukan secara berlebihan. Demokrasi butuh rakyat yang berani mengeluarkan pendapat. Hakikat dari demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Pemerintahan diselenggarakan untuk memberikan yang terbaik bagi kepentingan umum. Pasal penghinaan presiden dan wakil presiden di KUHP berpotensi digunakan untuk membungkam pendapat masyarakat. Pasal ini menggambarkan kemunduran demokrasi Indonesia sejak diperjuangkan saat reformasi. Usaha memperoleh hak bersuara setelah dibatasi selama berpuluh-puluh tahun yang telah memeras keringat bak dilupakan. Demokrasi ini dikebiri.

 

Referensi

Wetboek van Strafrecht tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Jakarta: Negara Kesatuan Republik Indonesia; 1945 Agu 18.

Putusan Mahkamah Konstitusi: Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006. Jakarta: Mahkamah Konstitusi; 2006 Okt 30.

Draf Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (2 Februari 2018)

Pasal Penghinaan Presiden Jadikan Presiden Layaknya Raja Tanpa Kritik

Pidana Penghinaan Presiden di RKUHP Tak Boleh Jadi Pasal Karet

Pasal Penghinaan terhadap Presiden dalam RKUHP Berpotensi Jadi Alat Represi

Pasal Penghinaan Presiden Jadi Polemik, Ini Kata Ketua DPR

RUU RKUHP, Pasal Penghinaan, dan Hukum "Lese Majeste"

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun