Mohon tunggu...
Ronny Rachman Noor
Ronny Rachman Noor Mohon Tunggu... Lainnya - Geneticist

Pemerhati Pendidikan dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Pelajaran Berharga Terpuruknya Industri Teh Sri Lanka

15 September 2024   21:14 Diperbarui: 16 September 2024   06:57 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemetik teh di kebun teh Sri Lanka (Foto: RAINER KRACK/CPA MEDIA via DW INDONESIA via KOMPAS.com)

Dalam dunia industri teh, nama Sri Lanka tidaklah asing bagi dunia karena produksi tehnya yang menguasai dunia dan sebagian besar nama merek teh terkenal dunia seperti misalnya Dilmah tehnya berasal dari perkebunan teh di Sri Lanka.

Teh Sri Lanka yang dikenal dunia sebagai Ceylon tea yang mendunia adalah English Breakfast, English Afternoon, Irish Breakfast, Earl Grey, Lapsang Souchong, Spiced Masala, Rose and French Vanilla, Black tea with berries

Pemerintah kolonial Inggris memang sejak awal membangun Perkebunan teh dan mengeksploitasi pekerja perkebunan teh di Sri Lanka yang dikenal juga dengan sebutan dengan Ceylon ini kebanyakan dari etnis Tamil yang didatangkan dari India.

Salah satu faktor yang mempengaruhi produktivitas teh Sri Lanka ini adalah pekerja yang umumnya dituntut bekerja keras di tengah perkebunan yang terisolasi dengan upah rendah.

Data menunjukkan bahwa jumlah pekerja di industri teh ini mencapai 700.000 orang yang sebagian besar adalah wanita yang umumnya bekerja di perkebunan teh di wilayah Sri Lanka Tengah yang merupakan dataran tinggi yang diperlukan bagi teh untuk tumbuh dan menghasilkan aroma dan rasa yang khas.

Bagi Sri Lanka industri teh merupakan sektor andalan karena setiap tahunnya industri ini menghasilkan devisa sebesar US $ 1 milyar dan menyumbang 11% dari nilai ekspor negara ini dengan negara tujuan utama Australia. Pada tahun 2021 lalu Australia tercatat mengimpor teh dari Sri Lanka ini dengan nilai mencapai US$30 juta yaitu sekitar 33% dari produksi total teh Sri Lanka.

Pekerja teh Sri Lanka dihadapkan pada kerja berat dengan upah murah. Photo: Al Jazeera 
Pekerja teh Sri Lanka dihadapkan pada kerja berat dengan upah murah. Photo: Al Jazeera 

Pemicu terpuruknya industri teh

Kejayaan Industri teh Sri Lanka ini tampaknya sudah mulai memudar ketika sekitar 3 tahun lalu pemerintah melarang penggunaan pupuk kimia dan pestisida, yang menyebabkan produksi anjlok hingga 18 %. 

Disamping itu pemerintah juga mewajibkan kenaikan upah minimal bagi pekerja perkebunan teh sebesar 70% dari upah yang berlaku dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan pekerja.

Namun kombinasi kedua faktor ini justru memberikan tekanan yang sangat besar bagi kelangsungan industri perkebunan teh di Sri Lanka menghadapi reformasi yang dilakukan oleh pemerintah.

Tanaman teh mulai masuk ke Sri Lanka di tahun 1820 an ketika negara ini dibawah kekuasaan kolonial Inggris, dan mengalami perkembangan yang sangat pesat menjadikan negara ini tercatat sebagai negara pengekspor terbesar dunia di tahun 1960 an.

Teh Sri Lanka dikenal dunia sebagai teh premium dengan rasa dan aroma yang khas karena diproduksi di dataran tinggi ini akhirnya memperoleh reputasi internasional pada 1962 dan menjadikan Sri Lanka sebagai pengekspor teh terbesar di dunia.

Di awal era pengembangan perkebunan teh ini pemerintah kolonial Inggris mengalami masalah karena penduduk setempat Sinhala maupun orang Tamil di Jaffna utara tidak bersedia melakukan pekerjaan berat memetik teh.

Kondisi ini membuat pemerintah Inggris mendatangkan orang Tamil dari India yang bekerja dengan upah kecil atau tanpa upah sebagai imbalan atas perjalanan mereka ke Sri Lanka.

Kombinasi pekerjaan yang sangat berat dengan upah yang rendah ini membuat pekerja teh seperti layaknya budak. Para pemetik teh diharuskan memanen 18 kilogram daun teh hijau setiap hari untuk mendapatkan upah minimum, yang meningkat 70 persen dari Rp 50.000 menjadi Rp 85.000 per hari.

Dengan semakin memburuknya perekonomian Sri Lanka kenaikan upah yang ditetapkan oleh pemerintah ini memuat pengusaha tertekan karena meningkatnya biaya produksi. Krisis keuangan yang sedang berlangsung membuat petani harus membayar lebih untuk bahan bakar dan listrik.

Saat ini Perkebunan teh di Sri Lanka mengalami penurunan produktivitas akibat rendahnya tingkat penggunaan teknologi baru, pertumbuhan produksi yang lambat, meningkatnya kelangkaan tenaga kerja, serta rendahnya keterampilan pekerja telah mengakibatkan rendahnya produktivitas.

Masalah kompleks yang sedang menimpa perkebunan teh di Sri Lanka ini jika dibiarkan tanpa solusi akan semakin memburuk dan bukan tidak mungkin dalam waktu yang tidak terlalu lamau, reputasi negara ini sebagai pengekspor teh terbesar dunia akan tergeser dan di saat yang bersamaan perekonomian Sri Lanka akan semakin memburuk.

Semoga apa yang terjadi di Sri Lanka ini dapat menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi industri teh Indonesia,

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun