Kombinasi perkerjaan yang sangat berat dengan upah yang rendah ini membuat pekerja teh  seperti layaknya budak. Para pemetik teh diharuskan memanen 18 kilogram daun teh hijau setiap hari untuk mendapatkan upah minimum, yang meningkat 70 persen dari Rp 50.000 menjadi Rp 85.000 per hari.
Dengan semakin memburuknya perekonomian  Sri Langka kenaikan upah yang ditetapkan oleh pemerintah ini memuat pengusaha tertekan karena  meningkatnya biaya produksi. Krisis keuangan yang sedang berlangsung membuat petani harus membayar lebih untuk bahan bakar dan listrik.
Saat ini Perkebunan the di Sri Langa mengalami  penurunan produktivitas akibat rendahnya tingkat penggunaan teknologi baru, pertumbuhan produksi yang lambat, meningkatnya kelangkaan tenaga kerja,  serta  rendahnya keterampilan pekerja telah mengakibatkan rendahnya produktivitas.
Masalah kompleks yang sedang menimpa perkebunan teh  di Sri Langka aini jika dibiarkan tanpa solusi akan semakin memburuk dan bukan tidak mungkin dalam waktu yang tidak terlalu lamau, reputasi negara ini sebagai pengekspor the terbesar  dunia akan tergeseser dan di saat yang bersamaan perekonomian Sri Langka akan semakin memburuk.
Semoga apa yang terjadi di Sri langka ini dapat menjadi pelajaran yang sngat berharga bagi industri  teh Indonesia,