Ketika Hongkong dilanda gelombang tsunami gerakan pro demokrasi ramai ramai negara yang mengaku pejuang demokrasi dan penjunjung HAM mendukung dan memusatan perhatiannya pada Hongkong.
Gerakan pro demokrasi yang domotori oleh anak anak muda bergulir dan terus membesar mendapat siraman bahan bakar semangat dari berbagai negara yang pada intinya ingin memanfaatkan panasnya situasi politik di Hongkong untuk menyudutkan pemerintah Tiongkok yang dianggap anti demokrasi.
Gerakan ini terus membesar tidak terkendali dan bergeser  pada tuntutan kemerdekaan Hongkong atas Tiongkok daratan.
Di saat inilah tampaknya pemerintah Tiongkok tidak dapat lagi membiarkan gerakan yang dimanfaatkan oleh negara barat karena akan mengganggu keamanan nasional dan reputasi Tiongkok sebagai negara berdaulat.
Perbedaan kepentingan inilah akhirnya membuat Hongkong bergejolak dan mengalami trubulensi dan bahkan tumpahnya darah darah muda yang  menjadi garda depan perjuangan demokrasi ini.
Namun sayangnya ketika pemerintah Tiongkok mengambil kebijakan tegas untuk menumpas gerakan pro demokrasi yang sudah tidak terkendali ini, para sponsor satu demi satu meninggalkan para pejuang muda ini karena dianggap situasi politiknya tidak memungkinkan lagi menggunakan isu demokrasi Hongkong untuk menekan Tiongkok.
Campur tangan negara lain terkait isu Hongkong ini tentunya akan dianggap mencampuri urusan dalam negeri Tiongkok yang berdaulat atas Hongkong.
Masa pergolakan tersebut kini sudah berakhir dan menyisakan kisah sedih dan pilu dimana para tokoh pejuang pro demokrasi yang dulunya di elu elukan oleh dunia kini menghadapi nasib dan masa depannya sendiri yang suram untuk mempertanggungjawabkan gerakan  pro demokrasi mereka yang gagal.
Anak anak muda yang sedang bergejolak jiwanya tidak menyadari sepenuhnya bahwa Hongkong setelah diserahkan kembali dari Inggris sepenuhnya merupakan bagian dari Tiongkok daratan. Â Oleh sebab itu jika Tiongkok daratan menerapkan hukumnya merupakan sesuatu yang wajar sebagai negara yang berdaulat.
Harapan palsu yang menyusupi gerkan pro demokrasi seperti misalnya Inggirs yang menjanjikan kewarganegaraan bagi anak muda pro demokrasi yang ingin meninggalkan Hongkong hanya sekedar janji dan tidak ada realisasinya.
Kini anak anak muda dan juga kalangan tokoh lain pendukungnya akan segera menghadapi persidangan dengan tuduhan yang sangat serius yaitu melakukan subversi.
Jumlahnya yang akan disidang mencapai 47 orang yang diantaranya sudah dikenal dunia namanya karena gerakan pro demokrasinya seperti Joshua Wong dan Benny Tai.
Sebagian besar pejuang demokrasi ini sudah menjalani tahanan minimal selama 2 tahun sebelum menghadapi persidangan yang akan segera mereka hadapi.
Di bawah undang undang keamanan  nasional yang diterapkan di Hongkong oleh pemerintah Tiongkok tindakan mereka merupakan kejahatan yang sangat serius dan dapat berujung pada human mati.
Salah satu tuduhan yang paling serius adalah mengadakan pemilu tidak resmi yang dianggap oleh pemerintah Tiongkok sebagai rindakan untuk menumbangkan pemerintah.
Pemerintah Tiongkok menganggap bahwa ada skeneario besar dibalik gerkan ini dengan tujuan untuk mendapatkan mayoritas di legistalif untuk melumpuhkan pemerintah dan menghalangi pengesahan undang undang yang akan berujung pada penggulingan pemerintah resmi yang ditunjuk oleh pemerintah Tiongkok Daratan.
"Kelompok 47" yang akan disidangkan ini diantaranya adalah ::
- Wong usia 26 tahun yang telah dipenjara tiga kali  atas  perannya dalam protes tahun 2019 dan acara nyala lilin yang dilarang
- Tai usia 58 tahun  mantan profesor tetap di Universitas Hong Kong
- Gwyneth Ho usia 26 tahun  tahun mantar jurnalis yang meliput serangan Yuen Long 2019 terhadap para pengunjuk rasa
- Claudia Mo usia 66 tahun  Mantan anggota parlemen yang menjadi wakil terpilih selama delapan tahun
Dari kelompok 47 ini hanya 16 orang yang akan diadili karena 31 orang termasuk Mr Wong dan Mr Tai telah mengaku bersalah dan akan segera dihukum
Pemilihan pendahuluan yang digagas oleh kelompok pro demokrasi yang membuat pemerintah Tiongkok meradang diadakan pada bulan Juli 2020, beberapa hari setelah undang-undang keamanan nasional diterapkan oleh pemerintah Tiongkok daratan dan  menarik sekitar 600.000 pemilih.
Sebagai respon dari tindakan ini pemerintah Tiongkok  segera menyatakan bahwa pemilihan pendahuluan ini illegal dan menunda pemilihan Dewan Legislatif.
Pada pemungutan suata berikutnya setelah diubah aturannya otmatis hanya mencantumkan calon yang setia pada pemerintah Tiongkok daratan.
Persidangan yang  diperkirakan akan berlangsung selama 90 hari ini akan menentukan nasib para pejuang pro demokrasi ini di tengah tengah gerakan yang semakin meredup.
Kini para pejuang pro demokrasi harus menghadapi konsekunsi dari apa yang mereka perjuangkan sendiri tanpa dukungan dunia internasional lagi.
Dalam catatan gerakan pro demokrasi sempat melumpuhkan perekonomian Hongkong, menghancurkan infrastutur dan memakan korban jiwa  yang menjadi pemberitaan internasional
Kini ketika para pejuang pro demokrasi menghadapi pengadilan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, dunia internasional sunyi senyap.
Riuh nya pemberitaan dan dukungan asing saat terjadinya gejolak politik dan keamanan di saat puncak gerakan pro demokrasi ternyata tidak lain hanya merupakan tunggangan politik negara lain yang ingin memanfaatkan isu kebebasan politik dan ham untuk menghantam Tiongkok.
Pepatah memang mengatakan perjuangan itu abadi, namun tampaknya keabadian itu tidak berpihak pada para pejuang pro demokrasi Hongkong.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H