Sikap pemerintah Australia tampaknya sangat tegas dengan menyalahkan pihak Optus yang tidak dapat menjaga kemanan data pelanggannya sehingga dengan mudah dapat dibobol.
Saat ini pihak keamanan sedang melakukan penyelidikan untuk menentukan apakah kebocoran data ini merupakan kelalaian untuk menentukan hukuman yang akan dijatuhkan.
Para pelanggan bahkan meragukan klaim Optus bahwa serangan cyber yang dialaminya merupakan serangan canggih dan lebih menganggap hal ini sebagai kelalaian Optus.
Pihak Optus kini sudah dipanggil oleh pihak berwenang untuk menanggung biaya penggantian passport dan SIM pelanggan yang telah dibobol.
Kasus kebocoran data ini juga mengungkap bahwa sistem keamanan data di Australia masih tertinggal jika dibandingkan dengan negara lain dalam menjaga data pribadi dan keamanan dunia maya.
Dari sisi politik pihak oposisi mendesak pemerintah untuk memberikan hukuman berat kepada Optus dan menganggap bahwa saat ini hukuman denda bagi perusahaan yang datanya bocor belum memadai.
Sebagai gambaran di beberapa negara hukuman bagi perusahaan yang mengalami kebocoran data pelanggan mencapai ratusan juta dollar, sedangkan di Australia hanya didenda sebesar US$2 juta saja.
Pihak oposisi juga mendesak pemerintah untuk merivisi undang undang keamanan cyber dengan memasukkan perusahaan telekomunikasi kedalamnya.
Selama ini perusahaan telekomunikasi belum dimasukkan di Undang-Undang karena dianggap telah memadai keamanan cybernya.
Selain itu pakar keamanan cyber menyarankan dilakukan revisi Undang-Undang penyimpanan data sehingga perusahaan telekomunikasi tidak perlu menyimpan informasi sensitif dalam waktu terlalu lama.
Disamping itu para pakar keamanan cyber ini menyarankan agar di Undang-Undang dicantumkan pasal yang mengatur hak mantan pelanggan untuk meminta datanya dihapus dari perusahaan telekomunikasi setelah mereka tidak lagi berlangganan.