Kebocoran data yang akhir-akhir ini ramai menghiasi media masa Indonesia belumlah usai. Namun yang jelas para pemilik data yang dibocorkan seolah pasrah karena kasus kebocoran data ini seringkali dianggap bukan hal yang luar biasa.
Berbeda dengan negara tetangga terdekat kita Australia, di mana data pribadi memang dilindungi oleh Undang-Undang, maka bagi siapa saja yang lalai tidak dalam menjaga keamanan data pribadi konsumen yang dikelolanya akan menerima hukuman yang berat dan juga hilangnya kepercayaan konsumen.
Kebocoran Data yang Menghebohkan
Minggu lalu salah satu perusahaan telekomunikasi raksasa Australia yang bernama Optus mengumumkan secara terbuka bahwa data pelanggan yang dikelolanya bocor akibat serangan cyber.
Tidak tanggung- tanggung dalam pengumumannya sebanyak 10 juta pelanggan atau sekitar 40% dari data pelanggannya bocor.
Sontak saja kebocoran data pelanggan Optus ini menghebohkan Australia karena menurut catatan kebocoran data yang dialami oleh Optus ini sangat meresahkan masyarakat sekaligus merupakan yang terburuk dalam sejarah Australia.
Kasus kebocoran data ini sekaligus menimbulkan tanda tanya besar bagaimana data pelanggan yang dikelola oleh raksasa telekomunikasi bisa dibobol dan bocor padahal perusahaan tersebut mengklaim bahwa perusahaannya memiliki sistem keamanan data yang canggih.
Kebocoran data ini juga menimbulkan kekhawatiran masyarakat Australia akan rentannya data-data lainnya yang dapat saja setiap saat dibobol dan dibocorkan.
Tanda-tanda kebocoran data ini pertama kali diamati oleh pihak perusahaan dengan adanya aktivitas yang mencurigakan dijaringan Optus yang merupakan anak perusahaan Singapore Telecommunications Ltd.
Dalam penyampaian kepada publik, pihak Optus mengungkapkan bahwa data pelanggan yang telah bocor meliputi nama, tanggal lahir, alamat rumah, kontak telepon dan email, serta paspor dan nomor SIM.
Jumlah pelanggan yang data paspor dan nomor SIM yang yang dibobol mencapai 2,8 juta orang. Hal yang paling dikhawatirkan pelanggan adalah data yang bocor ini dapat disalahgunakan untuk melakukan penipuan.