Menjadi pendidik di level pendidikan tinggi memang memerlukan seni tingkat tinggi. Ibarat bermain layang-layang, dosen perlu melihat ukuran dan jenis layang-layang, kekuatan angin, serta arah angin.
Tanpa pengetahuan, skill dan kesabaran maka bukan tidak mungkin layang-layang tersebut akan putus dan terbawa angin entah ke mana.
Jika hanya layang-layang mungkin kita tidaklah perlu terlalu perduli karena bisa diganti dengan layang-layang yang baru.Â
Namun yang sedang kita diskusikan ini adalah anak muda, generasi penerus yang kelak suatu saat nanti akan juga berperan dan memiliki tanggung jawab besar.
Bedakan level mahasiswanya
Mendidik dan membimbing mahasiswa S1, S2 dan S3 tentunya akan sangat berbeda.Â
Jika pada level S1 mahasiswa pada umumnya sedang dalam proses mencari jati dirinya, kaya akan ide-ide liarnya dan semangat yang membara, maka pada lebel S2 dan S3 dosen menghadapi mature student yang sedang mencari kemandiran ilmu.
Pengalaman yang diperoleh dosen selama memempuh pendidikan lanjutannya baik di dalam dan di luar negeri memang dapat menjadi modal yang sangat berharga dalam membimbing mahasiswa.Â
Namun tentunya tidak semua pengalaman itu dapat diterapkan semuanya ketika pada suatu saat nanti dosen diberi tanggung jawab membimbing mahasiswa baik sebagai pembimbing akademik, pembimbing praktek lapang, pembimbing Kuliah Kerja Nyata (KKN), pembimbing skripsi, thesis dan disertai.
Pembimbingan pada level S1 memang mengharuskan dosen menempatkan dirinya sebagai orang tua pengganti selama mahasiswa menempuh pendidikannya. Sebaliknya pembimbingan pada level S2 dan S3 lebih menempatkan posisi dosen sebagai partner atau mitra dalam mendalami ilmu.
Kegagalan dosen dalam mengatur strateginya dalam membimbing mahasiswa pada strata yang berbeda ini tidak saja akan membuat dosen menjadi frustrasi, namun juga mahasiswanya menjadi kebingungan dan frustrasi.
Sepakati aturan main
Sebelum memulai bimbingan  sangat disarankan diadakan pertemuan dan diskusi secara terbuka antara dosen dan mahasiswa bimbingannya.
Dosen dapat saja menentukan aturan aturan yang harus disepakati namun sebaiknya dikomunikasikan dengan mahasiwa yang akan dibimbing dan ditanyakan apakah aturan tersebut dapat disepakati.
Aturan yang sebaiknya disepakati antara lain: kesepakatan bertemu dengan dosen tepat waktu, kesepakatan akan kemandirian mahasiswa dalam arti tidak selalu tergantung pada dosen pembimbingnya; kesepakatan mahasiswa untuk menghubungi dosennya jika sedang menghadapi  masalah baik masalah pribadi maupun masalah akademik; kesepakatan terkait aturan cara dan waktu diskusi dan komunikasi dll nya.
Kesepakatan ini penting untuk dipatuhi baik oleh dosen dan mahasiswa agar proses bimbingan dapat berjalan dengan baik.
Dalam pelaksanaannya, kegagalan melakukan kesepakatan ini di awal bimbingan dapat saja berakibat fatal, seperti misalnya terputusnya komunikasi karena dosen dan mahasiswa merasa tidak nyaman dalam berkomunikasi, menghilangnya mahasiswa dari kegiatan akademis yang menyebabkan mahasiswa mengalami Drop Out (DO).
Jumlah bimbingan
Pada umumnya di perguruan tinggi ada aturan pembatasan jumlah mahasiswa bimbingan bagi setiap dosen untuk tipe bimbingan yang spesifik seperti pembimbing akademik, pembimbing Praktek Lapang (PKL), pembimbing Kuliah Kerja Nyata (KKN), pembimbing magang, dan pembimbing tugas akhir.
Namun dalam prakteknya ada saja dosen yang meendapatkan jumlah bimbingan yang fastastis baik karena alasan bidang keilmuannya maupun disukai mahasiswa.
Dalam hal ini dosen perlu mempertimbangkan dengan matang akan waktu yang harus dialokasikannya dalam melakukan bimbingan ini di luar tugas pokoknya seperti memberikan kuliah, meneliti dan melakukan kegiatan pengabdian pada masyarakat serta tentunya waktu bagi keluarganya.
Kegagalan mengukur kemampuan dalam membimbing ini dapat saja berakibat terlantarnya mahasiswa bimbingan akibat kurangnya curahan waktu yang diberikan dosen untuk mahasiswa bimbingannya.
Oleh sebab itu, dalam menerima bimbingan ini dosen perlu menghitung betul curahan waktu maksimal yang dapat dialokasikan untuk membimbing agar proses bimbingan ini dapat berjalan dengan lancar.
Hal lain yang juga perlu diperhatikan bahwa curahan waktu yang dialokasikan untuk membimbing mahasiswa S1, S2 dan S3 akan sangat berbeda.
Jika dalam membimbing S1 lebih kepada kegiatan rutin agar mereka dapat lulus tepat waktu dengan kualitas yang tinggi dan juga pembukaan wawasan, kemandirian dan motivasi. Maka membimbing mahasiswa S2 dan S3 akan lebih menekankan pada pengembangan wawasan dan kemandirian keilmuan.
Dosen pembimbing mahasiswa S2 dan S3 harus dapat menggali kreativitas dan motivasi keilmuan mahasiswa bimbingannya agar dapat dipicu untuk berkembang baik secara individu maupun secara berkelompok.
Dosen dan Mahasiswa Itu Juga Manusia
Konflik antara dosen dan mahasiswa yang dibimbingnya memang dapat saja terjadi jika sudah tidak ada lagi komunikasi dan kesesuaian diantara keduanya. Jika hal ini terjadi maka dapat saja menjadi fatal.
Kita cukup sering melihat di berita berita di media terkait konflik ini dan tidak jarang berujung pada proses  hukum.
Hal seperti ini memang tidak seharusnya terjadi jika apa yang harus disepakati di awal bimbingan dapat disampaikan dengan jelas dan dapat dimengerti oleh dosen dan mahasiswa bimbingannya.
Terkadang prilaku dosen pembimbing yang di luar batas seperti misalnya sulit ditemui, galak, mudah marah dan tidak perduli dengan mahasiswanya dapat saja membuat mahasiswa ketakutan untuk bertemu, berdiskusi dan melakukan komunikasi.
Jika hal seperti ini terjadi ada baiknya dosen merenungkan perjalannya hidup dan karirnya serta mengingat kembali bahwa dirinya dalam mencapai posisi seperti sekarang ini tentunya melalui proses yang sangat panjang dan bertahap.
Perlu disadari bahwa dosen juga dulunya pernah menjadi mahasiswa yang belum mengerti akan kompleknya keilmuan dan juga kehidupan ini.
Kalaupun dosen tersebut kini sudah penjadi "orang penting" tentu dulunya juga pernah dibimbing dan diarahkan oleh pembimbingnya dalam mengembangkan potensinya.
Oleh sebab itu, di samping melakukan napak tilas perjalanan karirnya, dosen pembimbing ada baiknya memperlakukan mahasiswa yang dibimbingnya tersebut sebagai anaknya sendiri.
Sebagai orang tua sudah pasti bahwa mereka akan memberikan segala sesuatu untuk anaknya agar anaknya kelak nanti mendapat bekal yang cukup mengarungi samudra kehidupan yang maha luas ini.
Jika misalnya pada suatu titik mahasiswa yang dibimbimbingnya tersebut putus kuliah maka coba bayangkan nasib apa yang akan menimpanya, bagaimana dengan kepedihan orang tuanya yang telah dengan susah payah membanting tulang membiayai kuliah anaknya.
Dalam membimbing mahasiswa tentnuya tidak akan selalu mulus. Ada mahasiswa yang dengan sedikit sentuhan dapat mandiri dan berprestasi menyelesaikan kuliahnya dan tugas tugasnya dengan lancar. Namun ada juga mahasiswa yang harus mendapatkan curahan waktu lebih agar dapat mencapai hasil yang sama.
Perlu disadari juga bahwa latar belakang keluarga mahasiswa yang dibimbing itu berbeda beda dan juga berasal dari budaya yang berbeda beda juga.Â
Dalam menghadapi keragaman ini dosen pembimbing memang memerlukan kesabaran tingkat tinggi dan seni tersendiri dalam membimbing.
Namun seiring dengan semakin bertambahnya jam terbang dosen pembimbing akan mulai terbiasa menghadapi mahasiswa dengan segala tipenya.
Dari sisi mahasiswa bimbingan juga memiliki permasalahan yang hampir sama. Sering kali mahasiswa lupa bahwa dirinya bukanlah satu satunya bimbingan dosennya.
Dalam hal ini mahasiswa harus dapat menempatkan diri dan menentukan waktu yang tepat kapan harus melakukan konsultasi dengan pembimbing. Sering kali mahasiswa sangat tergantung pada pembmbing karena terlalu menumpukan kemajuan studinya pada pembimbing dan melupakan bahwa tanggungjawab sebenarnya ada pada dirinya.
Oleh sebab itu, kemandirian sangat diperlukan dalam menjalani proses bimbingan. Sebagai contoh dalam mengirimkan draft proporsal penelitian, skripsi, thesis dan disertasi, mahasiswa harus memastikan bahwa dirinya telah berupaya semaksimal mungkin untuk menulisnya dengan baik.
Tidak jatang dosen pembimbing menjadi kesal karena tulisan mahasiswanya tidak dilakukan dengan serius, sehingga membuat jengkel dosen pembimbing karena terlalu banyak yang harus dikoreksi.
Mahasiswa harus tau kapan timing yang tepat untuk meminta waktu diskusi dengan pembimbingnya dan tidak meminta diskusi dalam waktu mendadak.
Mahasiwa juga harus dapat memilah milah apa yang perlu  disiskusikan dengan pembimbingnya karena tidak semua hal harus didiskusikan dengan pembimbing karena sebagian dari permasalahan yang dihadapi mahasiswa itu mungkin dapat diselesaikan sendiri.
Mahasiswa juga harus menyadari bahwa di samping membimbing dirinya, dosen pembimbing juga membimbing mahasiswa lain dan juga harus menelesaikan tugas lainnya.
Membimbing Mahasiswa Itu Menanam Benih Kebaikan
Dari sisi dosen  kebahagian terbesar yang diperolehnya ketika menyaksikan mahasiswa yang dibimbingnya bahagia bersama keluarganya di saat wisuda.
Namun pada hakekatnya, kebahagiaan yang hakiki bagi seorang dosen adalah ketika kelak pada suatu saat nanti benih yang pernah ditanam dan dipeliharanya tumbuh subur, menyebar dan menghasilkan buah.
Adalah suatu kebahagiaan yang sangat luar biasa bagi seorang dosen ketika pada suatu saat menyaksikan mahasiswa yang dibimbing menjadi "orang" yang perpengaruh di republik ini dengan menduduki posisi dan jabatan jabatan penting yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
Itulah hakekat dari kebahagiaan seorang dosen yang sebenarnya karena dengan ketekunan dan seni yang dimilikinya dapat menghasilkan sumber daya manusia yang bermanfaat bagi kemaslahan umat manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H