Pertanyaan besar mucul ketika di seluruh kawan Eropa vaksinasi masal di gencarkan justru kasus COVID-19 meningkat seperti yang terjadi di  Czech Republic, Hungary, Estonia, Slovakia, Italia, Perancis, Polandia dan  Swedia.
Dalam waktu 7 hari ini jumlah kasus di negara Uni Eropa terjadi sebanyak lebih dari 800,000 kasus baru atau terjadi peningkatan sebanayk 5.8%.
Data terakhir yang dikeluarkan minggu lalu menunjukkan bahwa di kawasan ini kasus meningkat dari sekitar 200 kasus per 1 juta orang  di bulan Februari lalu menjadi 270 kasus pada akhir minggu lalu.
Jika dibandingkan data di bulan Nopember 2020  lalu yaitu 490 kasus per 1  juta penduduk  memang angka ini sudah berkurang, namun tetap saja menjadi pertanyaan besar mengapa justru harapan vaksinasi akan menurunkan kasus COVID-19 justru sebaliknya kasusnya meningkat?
Sebagai contoh di sebagian besar wilayah Italia terutama Roma dan Milan dimasukkan ke dalam zona merah karena terjadi peningkatan kembali kasus COVID-19.
Di bulan Desember dan Januari lalu angka  kasus  di negara ini sudah melandai namun setelah periode ini kasus kembali meningkat tajam
Italia di tahun 2020 memang menjadi perhatian dunia karena negara ini menjadi episenter pandemi COVID-19 di kawasan Eropa dengan jumlah penderita dan korban jiwa yang tertinggi. Dalam waktu yang singkat pandemi ini menyebar secara sangat cepat di kawasan Eropa.
Data dari Johns Hopkins University menunjukkan bahwa saat ini kasus COVID-19 yang terburut terjadi di Czech Republic yang berpenduduk 10,7 juta jiwa. Di negara ini jumlah kasus per harinya adalah 110 per 100 ribu penduduknya, sementara rata rata kasus di Uni Eropa hanya 27 kasus.
Secara  lengkap perkembangan peningkatan kasus COVID-19 di kawasan Eropa dapat dilihat pada grafik berikut :Â
Dugaan bahwa kini Eropa sedang dilanda pandemi gelombang 3 memang sangat beralasan.
Jika kita tengok kembali timeline COVID-19 gelombang pertama di Eropa di tahun 2020 lalu walaupun  menghantam Italia,  namun  di negara Eropa lainnya seperti Spanyol dan Portugis angka penderita dan kematiannya tidak terlalu tinggi.
Namun jika tidak diantisipasi dengan baik maka bukan tidak mungkin gelombang ketiga ini akan menghantam hebat kawasan ini.
Paling tidak ada empat  faktor utama yang menyebabkan peningkatan kembali kasus COVID-19 di kawasan Eropa.
Faktor pertama adalah munculnya strain baru COVID-19 ditengarai juga berperan dalam peningkatan kasus ini karena daya infeksinya menurut pakar epidemiologi 70% Â lebih tinggi.
Kini produsen vaksin sedang menyesuaikan vaksin yang dihasilkan untuk memberikan kekebalan terhadap strain baru ini dan strain lain yang diprediksi juga akan muncul.
Faktor kedua  yang juga berperan dalam peningkatan kasus ini adalah lambatnya kemajuan program vaksinasi di kawasan Eropa ini.
Data yang dikeluarkan oleh Bloomberg's Coronavirus Vaccine Tracker menunjukkan bahwa jika dibandingkan dengan Inggris dan Amerika maka di negara negara yang tergabung dalam Uni Eropa angka proporsi orang yang divasinasi  jauh  lebih Rendah.
Sebagai contoh di inggris jumlah orang yang divaksinasi pertama dari setiap 100 orang mencapai 33 orang, di Amerika 25 orang sementara di negara Uni Eropa rata rata hanya sekitar 8 orang dari setiap 100 penduduknya.
Jika di lihat data di bulan Januari 2021 lalu maka lambatnya vaksinasi bersumber pada pengurangan jatah kaksin Pfizer yang didistribusikan  yang menimbulkan kekacauan di Italia dan negara lainnya di kawasan ini.
Pengalaman buruk ini berlanjut  ketika terjadi pengurangan jatah vaksin AstraZeneca produksi Moderna yang akan diterima oleh Perancis dan Italia hanaya sebanyak 2/3 nya dari yang dijanjikan akan dipasok sebanyak 90 juta dosis vaksin sampai bulan Maret mendatang.
Demikian  juga vaksin yang direncanakan akan digunakan yaitu produksi Johnson & Johnson yang sebenarnya sudah disetujui penggunaan oleh the European Medicines Agency  mengalami penundaan.
Masalah lambatnya program vaksinasi di kawasan Eropa ini diperparah dengan adanya laporan dari beberapa negara yang telah menggunakannya tentang  terjadinya penggumpalan darah terutama di otak yang membuat beberapa negara menunda penggunaan vaksin jenis ini.
Melihat banyaknya negara yang menunda penggunaan vaksin AstraZeneca membuat badan kesehatan dunia WHO menyatakan bahwa manfaat vaksin ini jauh lebih besar jika dibandingkan dengan efek samping yang dilaporkan.
Kekhawatian WHO ini dapat dimengerti karena jika banyak negara menunda pengunnan vaksin jenis ini maka dikhawatirkan  pandemi ini akan lebih lama diselesaikan.
Pakar epidemiologi menganalisa kekacauan  yang terjadi di kawasan Eropa  ini kemungkinan disebabkan oleh kurang persiapan  dalam melakukan program vaksinasi masal sehingga masalah masalah yang muncul sebelum dan pasca program vaksinasi diluncurkan  terlambat terjadinya dan tidak diantisipasi sebelumnya.
Faktor  ketiga  yang juga menjadi pemicu peningkatan kembali kasus COVID-19 di kawasan Eropa adalah konflik kepentingan antara upaya pengatasi pandemi dengan kepentingan ekonomi.
Banyak dari negara negara di kawasan ini yang lebih memilih melonggarkan peraturan demi membangun ekonominya kembali yang telah terpuruk.
Negara negara di Eropa lebih memilih cara yang reaktif jika dibandingkan dengan cara proaktif karena adanya tuntutan dunia bisnis.
Dengan cara ini di kebanyakan negara Eropa lebih memilih jalan untuk melakukan pembatasan yang sangat ketat ketika terjadi peningkatan kasus di satu wilayah dan menurunkan status pengetatannya jika kasus sudah mulai menurun.
Artinya di kawasan ini tidak dipilih opsi untuk melakukan pemutusan total rantai pandemi ini, sehingga tidak heran kasus COVID-19 di kawasan ini akan terus berfluktuasi.
Dalam situasi seperti ini kasus lonjakan ini diperkirakan tidak akan segera berakhir sampai program vaksinasi tuntas dimana seluruh penduduk di kawasan ini sebagian besar sudah divaksinasi.
Sebagai contoh kasus pengendoran ini terjadi pada masa Paskah yang lalu dimana perusahaan penerbangan Jerman justru menambah frekuensi penerbangannya sebanyak 300 penerbangan ke Mallorca yang berarti Jerman melakukan  pengendoran pengetatan perjalanan  ke wilayah Spanyol.
Penambahan frekuensi penerbangan ini membuat banyak turis  dari Jerman mengalir ke Spanol yang notabene merupakan negara zona merah COVID-19 sementara Jerman membatasi secara ketat turis Spanyol yang mengunjungi Jerman.
Turis Jerman yang akan ke Spanyol memang  diwajibkan untuk melakukan tes PCR sebelum bepergian, namun sekembalinya dari Spanyol tidak diberlakukan karantina.
Pengendoran perjalanan yang diterapkan oleh pemerintah Jerman ini mengakibatkan peningkatan kasus positif COVID-19 minggu lalu sebanyak 26%.
Faktor lainnya  yang juga berkontribusi besar dalam peningkatan kasus positif COVID-19 ini adalah kurang sadarnya masyarakat di kawasan ini untuk menjaga jarang dan menggunakan masker terutama di kalangan usia muda yang berasumsi daya tahan tubuh mereka lebih baik.
Semoga Indonesia dapat menarik hikmah dan pelajaran dari kasus meningkatnya kembali COVID-19 yang ditengarai sebagai fase awal dari gelombang ketiga.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI