Empat puluh tahun lalu tepatnya tanggal 1 Februari 1979 dunia menyaksikan peristiwa besar yang kelak akan merobah peta perpolitikan dunia yang ditandai dengan kembalinya Ayatollah Ruhollah Khomeini dari pengasingan.
Figur Ayatollah Ruhollah Khomeini memang tidak dapat dipisahkan dari bagian sejarah Iran. Di masa pemerintahan Mohammad Reza Shah Pahlavi, Khomeini dikenal sebagai tokoh yang vokal dan banyak kritikan yang dikeluarkannya terkait dengan pemerintahan Mohammad Reza Shah Pahlavi.
Perbedaan pandangan inilah yang membuat Khomeini berada dalam pengasingan  di Turki, Irak, dan Perancis selama kurun waktu 14 tahun.
Tanggal 1 Februari 40 tahun yang lalu Khomeini menginjakkan kembali kakinya di Iran setelah terbang dengan menggunakan pesawar Air France. Pendaratan peawat ini di Bandara Mehrabad menandai lahirnya revolusi Iran yang berujung pada runtuhnya pemerintahan Mohammad Reza Shah Pahlavi sekaligus mengakhiri 2.500 tahun era kekuasaan kerajaan Persia.
Saat menginjakkan kakinya kembali di Iran Khomeini yang sudah berusia 78 tahun disambut oleh pendukungnya yang diperkirakan mencapai 10 juta orang dan diliput secara luas oleh media.
Kembalinya Khomeini di Iran kelak akan menentukan arah perpolitikan Iran di Dunia internasional dan merobah geopolitik di kawasan Timur Tengah.
Menurut pakar politik, kebangkitan Republik Islam sekembalinya Khomeini berhasil mengguncang dunia karena saat itu hanya ada dua kekuatan besar aliran politik dunia, yaitu kapitalisme dan komunis. Â Hanya ada tiga negara yang sangat dominan dalam perpolitikan dunia yaitu Amerika, Rusia dan Inggris.
Lepasnya Iran dari pengaruh kekuatan politik konvensional ini memang sangat menarik karena Iran sebelum era revolusi  memang di bawah pengaruh negara lain selama kurun waktu lebih dari 100 tahun.
Kebangkitan Iran di era Khomeini ternyata membuat Amerika khawatir dan mengambil arah untuk menahan laju revolusi politik Iran dengan cara melakukan apa yang dinamakan "kontra revolusi" dengan memperkuat dukungan terhadap Irak dan Saudi Arabia.
Langkah politik Amerika ini ternyata berakibat munculnya gerakan anti Amerika dan anti barat yang merupakan bagian arus besar dalam  revolusi Iran.
Lemahnya intelejen Amerika inilah yang kelak akan menimbulkan pergesekan politik Iran dengan Amerika termasuk di dalamnya peristiwa penyanderaan warga Amerika yang menghebohkan dunia.
Ayatollah Ali Khamenei sebagai penerus Khomeini secara gencar menyerukan gerakan anti Amerika yang sedang "menghukum" Iran dengan sangsinya dengan alasan senjata nuklir yang sedang dikembangkan Iran.
Kebijakan Trump yang anti Iran  dan menggandeng erat Israel dan Saudi Arabia memang membuat ketegangan baru di kawasan Timur Tengah.  Banyak kalangan yang berpendapat tekanan berupa sangsi yang diberlakukan Amerika akan gagal "menundukan" Iran sebagaimana yang terjadi 40 tahun lalu ketika Khomeini menginjakkan kakinya kembali di Iran.
Khomeini meninggal dunia 10 tahun setelah kembali ke Iran tepatnya tahun 1989. Â Tidak ada yang dapat membantah bahwa peristiwa kembalinya Khomeini dan pengaruhnya selama 10 tahun sekembalinya dari pengasingan telah melahirkan poros baru perpolitikan dunia, yaitu Republik Islam.
40 tahun peristiwa kembalinya Khomeini dari pengasingan yang menandai rovolusi Iran  memang sudah berlalu.  Kini tampaknya ingatan dan kebesaran peristiwa tersebut mulai redup dengan berjalannya waktu terutama di kalangan generasi baru Iran.
Gejolak politik di Tumur Tengah dan dinamisnya perubahan peta politik  di kawasan ini  memang akan menguji Iran kembali.  Apakah Revolusi Iran yang melahirkan Republik Islam ini akan terus bertahan di tengah derasnya arus perubahan perpolitikan dunia? Hanya waktu sajalah yang akan menentukannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H