Sekitar 4 tahun lalu hubungan Indonesia banyak diwarnai dengan penangkapan pengungsi illegal yang masuk ke wilayah Australia dengan menggunakan kapal nelayan yang berangkat dari Indonesia. Namun tampaknya masalah ini sudah mereda sejak Australia menerapkan kebijakan barunya untuk tidak memperbolehkan pengungsi yang tertangkap diproses di Australia namun di proses di tempat penampungan pengungsi yang salah satunya berada di pulau Manus di wilayah PNG.
Kini tampaknya masalah pengungsi ilegal beralih ke masalah penangkapan ikan illegal (illegal fishing) di wilayah Australia oleh nelayan Indonesia. Pada tanggal 27 April yang lalu pihak otoritas Australia menangkap 8 orang nelayan Indonesia di posisi 13o 30’S & 123o 33E, 280 nm di sebelah timur laut Broome di Western Australia.
Disamping itu penangkapan ini juga merupakan bagian dari biosekuriti nasional Australia yang memiliki sistem karantina biologi yang merupakan salah satu terketat di dunia. Penangkapan ini juga terkait dengan tindakan memberikan efek jera kepada nelayan illegal yang tertangkap.
Menurut prosedur yang ada selain kapal yang digunakan dibakar di tengah laut, hasil tangkapan ikan dimusnahkan, nelayan yang tertangkap diproses secara hukum. Para nelayan yang baru pertama kali melakukan pelanggaran hukum setelah didata dan diproses secara hukum akan langsung dipulangkan. Namun bagi nelayan yang terdata telah melakukan pelanggaran sebelumnya (second offender) akan diproses di pengadilan dan tentunya jika dinyatakan bersalah akan dipenjara.
Indonesia dan Australia memang telah menjalin kerjasama yang erat dalam menangani masalah pencurian ikan ini. Sehingga ketika ke delapan nelayan ini ditangkap, pihak otoritas Australia Australian Fisheries Management Authority (AFMA) langsung memberitau perwakilan Indonesia yaitu Konsulat RI di Darwin.
Sebagai perwakilan RI, Konsulat Darwin tentu saja memiliki kewajiban untuk menangani masalah ini, karena salah satu tugas pokok perwakilan adalah melakukan perlindungan WNI di wilayah kerjanya.
Dalam kasus ini Perwakilan RI Darwin akan memberikan bantuan dan pendampingan kepada 8 nelayan illegal ini sampai dengan keputusan akhir dari proses prosedur dan proses hukum yang diterapkan.
Nelayan yang dipulangkan tidak akan diberikan uang sama sekali namun hanya diberikan ongkos secukupnya untuk pulang dengan melakukan koordinasi dengan KKP dalam proses pemulangan ini.
Dalam kasus penangkapan ikan illegal ini di wilayah kerja Konsulat RI Darwin saat ini ada 2 orang nelayan asal Saumlaki yang sedang menjalani proses pengadilan karena tindakannya memasuki wilayah perairan Australia tanpa ijin.
Sampai saat ini masih didalami asal usul ke delapan nelayan yang baru ditangkap ini, sekaligus menjalani pemeriksaan kesehatan.
Dilema
Jika diamati lebih lanjut posisi penangkapan ke delapan nelayan ini masuk dalam wilayah yang dinamakan MoU Box yang masih memperbolehkan nelayan tradisional Indonesia untuk menangkap siput laut. Kapal nelayan Indonesia yang diperbolehkan mencari siput di wilayah ini hanya perahu layar tradisional. Namun ke delapan nelayan yang tertangkap ini menggunakan kapal tipe 3 dengan menggunakan motor tempel tanpa menggunakan layar.
Pertanyaan yang muncul adalah apakah memang benar bahwa nelayan tersebut tidak mengerti aturan dan batas laut negara Australia? Jika dilihat dari profil “nelayan” yang tertangkap sebelumnya dan sudah diproses secara hukum, ada nelayan yang sudah pernah ditangkap dan melakukan pelanggaran yang sama.
Tertangkapnya kembali nelayan ini tentu saja paling tidak mengidikasikan bahwa mereka sebenarnya tau aturan dan batas laut, karena saat diproses hukum sudah dibuktikan dan ditunjukkan pelanggaran yang dilakukannya.
Nelayan yang tertangkap kembali ini tentu saja harus menjadi prioritas dan perhatian bagi pemerintah Indonesia untuk memberikan penyuluhan akan batas laut Australia dan konsekuensi yang akan didapatkannya jika memasuki wilayah Australia tanpa dokumen yang sah.
Nelayan yang ditangkap kembali ini dalam kenyataannya di lapangan memiliki kecenderungan mengajak nelayan lain yang belum pernah melakukan pelanggaran wilayah hukum Australia.
Australia memiliki sistem deteksi dan radar yang canggih yang dapat memonitor masuknya kapal nelayan ke wilayah Australia secara dini, akurat dan cepat. Jadi ditangkapnya ke delapan nelayan ini pastilah bukan secara kebetulan, namun sudah diikuti dengan radar sejak sebelum masuk wilayah perairan Australia.
Sangsi tegas yang diterapkan oleh pemerintah Australia termasuk di dalamnya membakar kapal dan hasil tangkapan, dan memproses secara hukum mestinya akan membuat nelayan ini mengerti dan kapok untuk memasuki wilayah perairan Australia kembali.
Mungkin jika dinilai dari hasil tangkapan nya para nelayan yang melakukan illegal fishing ini mendapatkan penghasilan lebih dari pendapatan kesehariannya jika melaut di wilayah Indonesia, namun konsekuensi hukum yang akan diterimanya jika memasuki perairan Australia secara ilegal tentu saja tidak sebanding dengan hasil tangkapannya.
Penyuluhan hukum kepada para nelayan terutama di wilayah wilayah yang selama ini banyak yang melakukan pelanggaran wilayah perbatasan harus lebih diintensifkan lagi dan juga mentargetkan pihak yang menjadi aktor intelektual yang mendorong nelayan untuk mencari ikan di ilayah illegal.
Pihak berwenang Indonesia sudah saatnya melakukan tindakan hukum tambahan yang lebih berat kepada para pelaku penangkapan ikan illegal berulang (second offender) untuk memberikan efek jera termasuk pihak pihak lain yang memfasilitasi pelaku penangkapan ikan ilegal ini.
Pengawasan yang melekat sudah seharusnya dilakukan bagi orang yang telah melakukan pelanggaran wilayah dan pencurian ikan berulang di Australia agar masalah ini tidak berulang kembali.
Masalah illegal fishing ini sebaiknya tidak dianggap sebagai masalah sepele karena menyangkut martabat Indonesia di tingkat internasional di tengah tengah upaya kita memerangi illegal fishing di wilayah kedautan RI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H