Mohon tunggu...
Ronny Rachman Noor
Ronny Rachman Noor Mohon Tunggu... Lainnya - Geneticist

Pemerhati Pendidikan dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dilema Nelayan Indonesia yang Masuk Perairan Australia Secara Ilegal

2 Mei 2017   07:50 Diperbarui: 2 Mei 2017   08:32 1547
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekitar 4 tahun lalu hubungan Indonesia banyak diwarnai dengan penangkapan pengungsi illegal yang masuk ke wilayah Australia dengan menggunakan kapal nelayan yang berangkat dari Indonesia.  Namun tampaknya masalah ini sudah mereda sejak Australia menerapkan kebijakan barunya untuk tidak memperbolehkan pengungsi yang tertangkap diproses di Australia namun di proses di tempat penampungan pengungsi yang salah satunya berada di pulau Manus di wilayah PNG.

Kini tampaknya masalah pengungsi ilegal beralih ke  masalah penangkapan ikan illegal (illegal fishing) di wilayah Australia oleh nelayan Indonesia.  Pada tanggal 27 April yang lalu pihak otoritas Australia menangkap 8 orang nelayan Indonesia di posisi 13o 30’S & 123o 33E, 280 nm di sebelah timur laut Broome di Western Australia.

Saat kedelapan nelayan ditangakap dan diamankan di wilayah perairan Australia. Photo: Maritime Border Command
Saat kedelapan nelayan ditangakap dan diamankan di wilayah perairan Australia. Photo: Maritime Border Command
Kapal nelayan yang ditanggap masuk dalam kategori tipe 3 dan saat ditanggap ditemukan hasil tanggapan 2-3 m kubik siput laut.  Kapal nelayan ini sesuai dengan prosedur yang diterapkan di Australia dihancurkan di tengah laut dan kedelapan nelayan illegal ini di tangkap dan selanjutnya diproses di kota Darwin.

Hasil tangkapan nelayan ilegal. Photo: Marine Border Command
Hasil tangkapan nelayan ilegal. Photo: Marine Border Command
Bagi Australia penangkapan nelayan ilegal dengan kapal ukuran kecil ini tentu saja bukan masalah kerugian yang ditimbulkan akibat pencurian ikannya karena jumlah tangkapannya sangat sedikit, namun lebih kepada penegakan hukum karena nelayan ini masuk ke wilayah Australia tanpa memiliki dokumen yang sah.

Disamping itu  penangkapan ini juga merupakan bagian dari biosekuriti nasional Australia yang memiliki sistem karantina biologi yang merupakan salah satu terketat di dunia.  Penangkapan ini juga terkait dengan tindakan  memberikan efek jera kepada nelayan illegal yang tertangkap.

Menurut prosedur yang ada selain kapal yang digunakan dibakar di tengah laut, hasil tangkapan ikan dimusnahkan, nelayan yang tertangkap diproses secara hukum.  Para nelayan yang baru pertama kali melakukan pelanggaran hukum setelah didata dan diproses secara hukum akan langsung dipulangkan.  Namun bagi nelayan yang terdata telah melakukan pelanggaran sebelumnya (second offender) akan diproses di pengadilan dan tentunya jika dinyatakan bersalah akan dipenjara.

Indonesia dan Australia memang telah menjalin kerjasama yang erat dalam menangani masalah pencurian ikan ini.  Sehingga ketika ke delapan nelayan ini ditangkap, pihak otoritas Australia Australian Fisheries Management Authority (AFMA)  langsung memberitau perwakilan Indonesia yaitu Konsulat RI di Darwin.

Sebagai perwakilan RI, Konsulat Darwin tentu saja memiliki kewajiban untuk menangani masalah ini, karena salah satu tugas pokok perwakilan adalah melakukan perlindungan WNI di wilayah kerjanya.

Dalam kasus ini Perwakilan RI Darwin akan memberikan bantuan dan pendampingan kepada  8 nelayan illegal ini sampai dengan keputusan akhir dari proses prosedur dan proses hukum yang diterapkan.

Nelayan yang dipulangkan tidak akan diberikan uang sama sekali  namun hanya diberikan ongkos secukupnya untuk pulang dengan melakukan koordinasi dengan KKP dalam proses pemulangan ini.

Dalam kasus penangkapan ikan illegal ini di wilayah kerja Konsulat RI Darwin saat ini ada 2 orang nelayan asal Saumlaki yang sedang menjalani proses pengadilan karena tindakannya memasuki wilayah perairan Australia tanpa ijin.

Sampai saat ini masih didalami asal usul ke delapan nelayan yang baru ditangkap ini, sekaligus menjalani pemeriksaan kesehatan.

Dilema

Jika diamati lebih lanjut posisi penangkapan ke delapan nelayan ini masuk dalam wilayah yang dinamakan MoU Box yang masih memperbolehkan nelayan tradisional Indonesia untuk menangkap siput laut.  Kapal nelayan Indonesia yang diperbolehkan mencari siput di wilayah ini hanya perahu layar tradisional. Namun ke delapan nelayan yang tertangkap ini menggunakan kapal tipe 3 dengan menggunakan motor tempel  tanpa menggunakan layar.

Pertanyaan yang muncul adalah apakah memang benar bahwa nelayan tersebut tidak mengerti aturan dan batas laut negara Australia?  Jika dilihat dari profil “nelayan” yang tertangkap sebelumnya dan sudah diproses secara hukum, ada nelayan yang sudah pernah ditangkap dan melakukan pelanggaran yang sama.

Tertangkapnya kembali nelayan ini tentu saja paling tidak mengidikasikan bahwa mereka sebenarnya tau aturan dan batas laut, karena saat diproses hukum sudah dibuktikan dan ditunjukkan  pelanggaran yang dilakukannya.

Nelayan yang tertangkap kembali ini tentu saja harus  menjadi prioritas dan perhatian bagi pemerintah Indonesia untuk memberikan penyuluhan akan batas laut Australia dan konsekuensi yang akan didapatkannya jika memasuki wilayah Australia tanpa dokumen yang sah.

Nelayan yang ditangkap kembali ini dalam kenyataannya di lapangan memiliki kecenderungan  mengajak nelayan lain yang belum pernah melakukan pelanggaran wilayah hukum Australia.

Australia memiliki sistem deteksi dan radar yang canggih yang dapat memonitor masuknya kapal nelayan ke wilayah Australia secara dini, akurat dan cepat.  Jadi ditangkapnya ke delapan nelayan ini pastilah bukan secara kebetulan, namun sudah diikuti dengan radar sejak sebelum masuk wilayah perairan Australia.

Sangsi tegas yang diterapkan oleh pemerintah Australia termasuk di dalamnya membakar kapal dan hasil tangkapan, dan memproses secara hukum mestinya akan membuat nelayan ini mengerti  dan kapok untuk memasuki wilayah perairan Australia kembali.

Mungkin jika dinilai dari hasil tangkapan nya para nelayan yang melakukan illegal fishing ini mendapatkan penghasilan lebih dari pendapatan kesehariannya jika melaut di wilayah Indonesia, namun konsekuensi hukum yang akan  diterimanya jika memasuki perairan Australia secara ilegal tentu saja tidak sebanding dengan hasil tangkapannya.

Penyuluhan hukum kepada para nelayan terutama di wilayah wilayah yang selama ini banyak yang melakukan pelanggaran wilayah perbatasan harus lebih diintensifkan lagi  dan juga mentargetkan pihak yang menjadi aktor intelektual yang mendorong nelayan  untuk mencari ikan di ilayah illegal.

Pihak berwenang Indonesia sudah saatnya melakukan tindakan hukum tambahan yang lebih berat kepada para pelaku penangkapan ikan illegal berulang (second offender) untuk memberikan efek jera termasuk pihak pihak lain yang memfasilitasi pelaku penangkapan ikan ilegal ini.

Pengawasan yang  melekat sudah seharusnya dilakukan bagi orang yang telah melakukan pelanggaran wilayah dan pencurian ikan berulang di Australia agar masalah ini tidak berulang kembali.

Masalah illegal fishing ini sebaiknya tidak dianggap sebagai masalah sepele karena menyangkut martabat Indonesia di tingkat internasional di tengah tengah upaya kita  memerangi illegal fishing di wilayah kedautan RI.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun