Oleh sebab itu, Â swasemba daging nasional lebih tepat diartikan sebagai kecukupan daging nasional yang didalamnya ada komponen produksi daging dalam negeri dan komponen impor daging.
Oleh sebab itu, Â strategi pemasaran daging kerbau harus disertai dengan program sosialisasi yang gencar juga terutama di wilayah dimana permintaan daging sangat tinggi seperti di DKI Jakarta dan Jawa Barat.
Program sosialisasi ini memang sangat diperlukan untuk mendidik konsumen  bahwa nilai gizi daging kerbau tidak berbeda jauh dengan daging sapi.  Bahkan daging kerbau dinilai lebih sehat jika dibandingkan dengan daging sapi karena kandungan protein daging kerbau lebih tinggi jika dibandingkan dengan daging sapi (20,33 vs 19.0 g), lemak yang jauh lebih rendah (1,37 vs  10,19 g), energi lebih tinggi (193 vs 99 kkal), asam lemak jenuh yang lebih rendah (0,460 vs 99 kkal).
Mengingat keterbatasan penerimaan  daging kerbau saat ini, maka daging kerbau impor harus diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan daging terutama di wilayah dimana daging kerbau sudah biasa dikonsumsi.  Sedangkan di wilayah dimana orang belum  mengenal dengan daging kerbau dengan baik,  pada tahap awal sebaiknya daging kerbau impor ini lebih ditujukan sebagai pemasok kebutuhan daging olahan seperti baso, sosis, burger, dendeng, abon dll
Melalui cara ini secara perlahan daging kerbau impor akan masuk dalam sistem perdagingan nasional sehingga melalui diversifikasi daging ini keberadaan daging kerbau impor secara perlahan akan mengurangi tekanan permintaan akan daging sapi.
Seperti yang telah diuraikan di atas mengharapkan impor daging kerbau akan berdampak besar pada penurunan harga daging sapi yang siknifikan  tidaklah realistis.
Ada satu hal yang sangat jarang dibahas dalam kebijakan impor daging sapi ini yaitu pelemahan nilai rupiah kita. Â Sehingga kita cenderung salah kaprah menyimpulkan bahwa harga daging terus melambung tinggi semata mata terkait dengan permasalahan daging impor.
Jika kita analisa perubahan harga daging sapi di Australia sebagai pemasok utama daging impor, maka pergeseran harga daging dalam kurun waktu 30 tahun terakhir sangat kecil bahkan relatif stabil. Â Harga daging kualitas biasa kisarannya anra AUD$20-28 setiap kilo nya.
Coba bandingkan nilai tukar rupiah sekitar 25 tahun lalu dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar Australia sekarang. Â Nilai tukar rupiah di era tahun 1980 an hanya sekitar Rp. 3000 an untuk setiap 1 dolar Australia, namun sekarang sudah mencapai Rp. 9000 an. Â Artinya peningkatan harga daging di Indonesia salah satu penyebab utamanya adalah pelemahan nilai rupiah.
Marilah kita berpikir lebih realistis bahwa permasalahan tingginya daging di Indonesia  sebagian besar bersumber dari dalam negeri bukan dari impor.  Keterbatasan lahan dan produktivitas sapi lokal yang menyebabkan produksi daging nasional belum mampu memenuhi tekanan permintaan daging yang terus meningkat tajam memang bukanlah hal yang gampang untuk diselesaikan.