Menjelang bulan puasa dan juga lebaran yang sebentar lagi akan tiba sudah dapat dipastikan bahwa melambungnya harga daging sapi kembali akan menjadi berita nasional.
Terkait dengan gonjang ganjing harga daging sapi ini pemerintah mulai membuka keran impor daging kerbau dengan harapan dapat membatu memasok kekurangan daging nasional.
Banyak orang salah kaprah dan berharap bahwa impor daging kerbau yang dilakukan oleh pemerintah saat ini akan serta merta menurunkan harga daging sapi. Harapan ini memang masuk akal namun tidaklah realistis.
Populasi kerbau yang semakin menciut tentu saja berpengaruh besar pada ketersediaan daging kerbau jauh produksinya di bawah kemampuan populasi kerbau menyediakan pasokan daging. Apalagi jika ditinjau dari segi reproduksinya birahi tersembunyi “silent heat” membuat kerbau lebih sulit untuk dikembangbiakkan jika dibanding dengan sapi.
Akibatnya kerbau hanya populer di wilayah tertentu di Indonesia seperti Kalimantan Selatan, Kutai Kartanegara, Toraja, Sumatera Barat dll dalam wilayah yang sangat terbatas. Kebiasaan mengkonsumsi daging kerbaupun juga sangat terbatas.
Kembali kepada masalah impor daging kerbau, kebijakan ini dinilai lebih mengarah kepada diversifikasi konsumsi daging yang kualitasnya mendekati daging sapi dibanding dengan sebagai upaya untuk menurunkan harga daging sapi secara drastis.
Tekanan permintaan atas produksi daging nasional memang sangat besar terutama di wilayah DKI Jakarta dan Jawa Barat dan kota besar lainnya. Kemampuan produksi daging nasional yang tidak dapat mengikuti laju peningkanan permintaan akan daging menjadi suatu keniscayaan yang harus kita terima.
Sejak awal pencanangan swasembada daging nasional sekitar lebih dari 10 lalu, kebijakan ini diinilai lebih kepada politik anggaran semata karena dengan menganalisa produksi dan permintaan daging nasional, kedua faktor ni tidak akan pernah bertemu dan bahkan cenderung semakin melebar. Peningkatan permintaan akan daging ini tentunya seiring dengan peningkatan kemampuan daya beli masyarakat yang semakin membaik juga.
Oleh sebab itu, swasemba daging nasional lebih tepat diartikan sebagai kecukupan daging nasional yang didalamnya ada komponen produksi daging dalam negeri dan komponen impor daging.
Oleh sebab itu, strategi pemasaran daging kerbau harus disertai dengan program sosialisasi yang gencar juga terutama di wilayah dimana permintaan daging sangat tinggi seperti di DKI Jakarta dan Jawa Barat.
Program sosialisasi ini memang sangat diperlukan untuk mendidik konsumen bahwa nilai gizi daging kerbau tidak berbeda jauh dengan daging sapi. Bahkan daging kerbau dinilai lebih sehat jika dibandingkan dengan daging sapi karena kandungan protein daging kerbau lebih tinggi jika dibandingkan dengan daging sapi (20,33 vs 19.0 g), lemak yang jauh lebih rendah (1,37 vs 10,19 g), energi lebih tinggi (193 vs 99 kkal), asam lemak jenuh yang lebih rendah (0,460 vs 99 kkal).
Mengingat keterbatasan penerimaan daging kerbau saat ini, maka daging kerbau impor harus diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan daging terutama di wilayah dimana daging kerbau sudah biasa dikonsumsi. Sedangkan di wilayah dimana orang belum mengenal dengan daging kerbau dengan baik, pada tahap awal sebaiknya daging kerbau impor ini lebih ditujukan sebagai pemasok kebutuhan daging olahan seperti baso, sosis, burger, dendeng, abon dll
Melalui cara ini secara perlahan daging kerbau impor akan masuk dalam sistem perdagingan nasional sehingga melalui diversifikasi daging ini keberadaan daging kerbau impor secara perlahan akan mengurangi tekanan permintaan akan daging sapi.
Seperti yang telah diuraikan di atas mengharapkan impor daging kerbau akan berdampak besar pada penurunan harga daging sapi yang siknifikan tidaklah realistis.
Ada satu hal yang sangat jarang dibahas dalam kebijakan impor daging sapi ini yaitu pelemahan nilai rupiah kita. Sehingga kita cenderung salah kaprah menyimpulkan bahwa harga daging terus melambung tinggi semata mata terkait dengan permasalahan daging impor.
Jika kita analisa perubahan harga daging sapi di Australia sebagai pemasok utama daging impor, maka pergeseran harga daging dalam kurun waktu 30 tahun terakhir sangat kecil bahkan relatif stabil. Harga daging kualitas biasa kisarannya anra AUD$20-28 setiap kilo nya.
Coba bandingkan nilai tukar rupiah sekitar 25 tahun lalu dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar Australia sekarang. Nilai tukar rupiah di era tahun 1980 an hanya sekitar Rp. 3000 an untuk setiap 1 dolar Australia, namun sekarang sudah mencapai Rp. 9000 an. Artinya peningkatan harga daging di Indonesia salah satu penyebab utamanya adalah pelemahan nilai rupiah.
Marilah kita berpikir lebih realistis bahwa permasalahan tingginya daging di Indonesia sebagian besar bersumber dari dalam negeri bukan dari impor. Keterbatasan lahan dan produktivitas sapi lokal yang menyebabkan produksi daging nasional belum mampu memenuhi tekanan permintaan daging yang terus meningkat tajam memang bukanlah hal yang gampang untuk diselesaikan.
Daging impor hanya ditujukan untuk memenenuhi kekurangan pasokan daging dalam negeri yang diperkirakan mencapai 15-20% dari kekurangan pasokan daging secara nasional.
Hal lain yang harus kita sadari bahwa pemenuhan kebutuhan protein hewani ini bukan hanya berasal dari daging sapi saja. Daging kerbau, domba, kambing, ayam dan telur ayam serta protein yang berasal dari laut seperti ikan dapat dijadikan andalan.
Mengubah kebiasaan dan selera itu memang bukanlah hal yang gampang dilakukan, namun jika sosialisasi gencar dilakukan, bukan tidak mungkin daging kerbau secara perlahan akan diterima oleh masyarakat luas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H