Mohon tunggu...
V Quiserto
V Quiserto Mohon Tunggu... wiraswasta -

Mengelola Blog Keuangan: http://www.duwitmu.com\r\n\r\n"Writing and sharing is my stress-relieve". Saya seorang ex-banker yang hobby menulis soal keuangan keluarga.\r\n\r\nDosen Manajemen Risiko, MM Atmajaya

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Membangun Manajemen Risiko Perbankan, Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan

14 November 2014   06:39 Diperbarui: 5 September 2015   23:59 2149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Perbankan menguasai hampir 90% aset sistem keuangan. Artinya, stabilitas sistem keuangan ditentukan oleh kondisi sistem perbankan. Menjaga stabilitas sistem keuangan menuntut sistem perbankan yang sehat dan kokoh. Bagaimana membangun sistem perbankan yang seperti itu?

 

Salah satu pilar perbankan adalah manajemen risiko. Karena aktivitas bank erat dengan risiko. (sumber referensi)

 

Bank menerima simpanan dan menyalurkan simpanan tersebut sebagai kredit. Spread antara bunga simpanan (yang lebih rendah) dan bunga kredit (yang lebih tinggi) menjadi sumber profit. Bank menghadapi kemungkinan peminjam gagal bayar. Kegagalan pembayaran pinjaman  membuat bank harus menanggung kerugian karena simpanan nasabah harus dikembalikan.

 

Akan tetapi, jika tidak mengambil risiko, misalkan mengerem atau tidak memberikan kredit, bank tidak dapat mencetak keuntungan. Tanpa mengambil risiko, bank akan dengan sendirinya mati.

 

Dengan model bisnis tersebut, kemampuan mengelola risiko menjadi kunci.

 

Di satu sisi bank harus berani mengambil risiko dengan menyalurkan kredit, disisi lain bank harus bisa mengelola risiko dengan memastikan pinjaman diberikan kepada debitur yang mampu mengembalikkan kewajiban tepat waktu.

 

Pentingnya manajemen risiko yang kuat, bukan hanya untuk kepentingan bank semata. Tapi lebih dari itu, untuk kepentingan sistem perekonomian nasional dan masyarakat luas.

 

Kalau sebuah pabrik garmen bangkrut, apakah perekonomian nasional goyah? Tidak. Paling yang kena efek karyawan, supplier dan buyer. Efeknya bersifat lokal dan terbatas.

 

Tapi, kalau sebuah bank, jangankan bangkrut, baru goyah saja, efeknya meluas sampai ke sistem ekonomi nasional. Contohnya, kasus Bank Century, dimana bank ini yang ukurannya relatif kecil, namun pemerintah all-out turun tangan menggelontorkan dana triliunan rupiah untuk menyelamatkan bank tersebut.

 

Kenapa? Karena bank memiliki apa yang disebut efek sistemik, yaitu kegagalan suatu bank menjalar ke bank lain. Akibatnya, bank lain  yang sebetulnya sehat-sehat, ikut terganggu, yang akhirnya berpotensi mengganggu sistem keuangan secara keseluruhan. Karena itu kesehatan bank menjadi kepentingan  semua pihak.

 

Membangun Sistem Manajemen Risiko

 

Bagaimana membangun sistem manajemen risiko yang kuat? Kita perlu tahu dulu, apa saja risiko yang dihadapi oleh bank.

 

Secara umum ada empat risiko utama, yaitu risiko kredit, risiko likuiditas, risiko pasar dan risiko operasional. Tantangannya adalah bagaimana mengelola risiko – risiko tersebut, sehingga bisnis bank dapat menguntungkan dan kerugian dapat dihindari.

 

Beberapa hal yang sebaiknya menjadi pertimbangan dan fokus dalam mengelola risiko adalah sbb:

 

1.1 Memperkuat Permodalan

 

Boleh dikatakan bahwa bank hidup dari other’s people money. Mayoritas dana adalah simpanan masyarakat (disebut Dana Pihak Ketiga), mencapai 90%.

 

Bagaimana jika pemilik dana tiba – tiba menarik uangnya dalam jumlah besar? Sementara, uang tersebut sedang dipinjamkan yang masa pengembaliannya masih lama.

 

Menghadapi risiko ini, modal menjadi kritikal. Dengan modal yang cukup, bank mampu menyerap risiko tersebut. Karena itu, bank dituntut memiliki permodalan yang kuat.

 

Berbeda dengan umumnya industri lain, di perbankan ada ketentuan modal minimum dari regulator (regulatory capital). Saat ini modal harus sebesar 8% dari asset bank dengan jumlah minimum Rp 100 miliar.

 

Prinsipnya adalah semakin beresiko aktivits bank, modal harus semakin besar. Untuk memastikan hal tersebut, maka cara perhitungan modal di bank dikaitkan dengan asset tertimbang menurut risiko (ATMR). Semakin agresif bank memberikan pinjaman, semakin besar modal yang harus disiapkan.

 

Kondisi permodalan perbankan nasional saat ini cukup sehat. Rata – rata modal perbankan 17% asset (minimum 8%). Artinya, posisi modal perbankan nasional lebih dari dua kali persyaratan modal minumum.

 

BI juga telah melakukan stress test dengan berbagai skenario (berdasarkan pengalaman riil ataupun simulasi) untuk menguji apakah modal yang dimiliki bank saat ini kuat menghadapi goncangan krisis. Dan hasilnya, tingkat modal tersebut cukup kuat.

 

Meskipun begitu, sejumlah tantangan perlu diantisipasi BI, yaitu:

 

Pertama, perhitungan modal masih menggunakan pendekatan standard (standardized approach) dimana penetapan berapa prosentase modal yang perlu disediakan untuk setiap kategori asset adalah sama untuk semua bank. Padahal, kita tahu bahwa kemampuan manajemen risiko antar bank itu berbeda. Jenis pinjaman yang sama mungkin punya kemungkinan gagal bayar (default rate) yang berbeda  antar bank karena cara mengelola risiko di masing – masing bank yang tidak sama.

 

Kedepannya, seiring dengan penerapan Basel II, BI selayaknya mulai berpindah ke internal-rating based (IRB) approach, yang tidak lagi mematok standard yang sama untuk semua bank, tetapi menggunakan patokan sesuai kondisi masing-masing bank. Metode ini akan mencerminkan secara lebih akurat tingkat kesehatan masing- masing bank.

 

Kedua, seiring dengan pendekatan IRB tersebut, bank harus membuat pengukuran risiko dan kebutuhan modal sendiri (internal), bukan lagi dipatok oleh BI. Meskipun ini cara yang lebih ideal dari pendekatan standard sekarang, namun menuntut kecakapan dan kecanggihan infrastruktur bank dalam manajemen risiko. BI harusnya membantu bank membangun infrastruktur manajemen risiko tersebut.

 

1.2 Memperkuat Pengelolaan Risiko Operasional

 

Beberapa waktu lalu, dunia perbankan nasional dikejutkan oleh kasus  pembobolan di sebuah bank swasta besar dengan jumlah cukup fantastis Rp 22 M oleh karyawan internal IT bank tersebut. Kejadian ini mengingatkan kalangan perbankan untuk selalu waspada terhadap risiko operasional, yang mencakup fraud, internal proses, sistem teknologi dan kejadian eskternal.

 

Risiko operasional relatif baru mendapatkan perhatian. Selama ini fokus manajemen risiko adalah risiko kredit dan risiko pasar. Tapi, seiring waktu, ternyata banyak kerugian dalam jumlah masif yang bersumber dari risiko operasional.

 

Mengelola risiko operasional punya  tantangan tersendiri. Pertama, cakupan area risikonya cukup luas. Mulai dari proses internal, sistem teknologi, sumber daya manusia sampai kejadian eksternal. Kedua, kesadaran karyawan bank akan pentingnya risiko operasional masih relatif rendah karena ini sesuatu yang masih baru.

 

Prinsip yang perlu dibangun dalam pengelolaan risiko operasional adalah (1) harus mempertimbangkan cost & benefit , sehingga alokasi resources difokuskan pada hal – hal yang kritikal; (2) risk awareness bahwa semua karyawan bertanggung jawab dan mengelola risiko. Bukan hanya tanggungjawab direktorat Manajemen Risiko dan Internal Audit, tetapi urusan seluruh karyawan.

 

Pengalaman best-practices di negara – negara lain, pengelolaan risiko operasional dilakukan dengan fokus pada dua hal utama, yaitu governance dan assurance.

 

Governance (Tata Kelola) merupakan pembentukan dan pengelolaan atas proses pengambilan keputusan dan struktur tanggung jawab guna membuat manajemen risiko yang efektif.

 

Governance di masing – masing bank harus sejalan dengan Peraturan Perbankan Indonesia yang menekankan batasan terhadap keanggotaan Dewan Komite, dan mensyaratkan hal tertentu untuk dipertahankan pada tingkat Dewan Komisaris dan Dewan Direksi dan tidak didelegasikan lebih lanjut pada individual.

 

Assurance adalah pembuktian kepada manajemen senior, bahwa kebijakan internal dan peraturan eksternal telah dipatuhi dan risiko signifikan telah diidentifikasi dan dikelola secara tepat waktu dan proaktif.

 

Contoh kerangka kerja assurance adalah 3 lini assurance, yaitu First Line Assurance: meliputi manajemen risiko yang dilakukan oleh unit/bisnis, terutama melalui penilaian sendiri (self assessment) atas pengendalian utama yang diidentifikasi Risk Control Owner dan pemeriksaan atas contoh transaksi untuk memastikan kepatuhan atas kebijakan; Second Line Assurance: meliputi proses assurance dan penilaian risiko yang dilakukan oleh Operational Risk, Compliance dan komite–komite di Bank, dan Third Line Assurance: meliputi pengujian independen oleh Audit Internal.

 

Jadi governance menetapkan cara kerja, sistem dan kontrol atas proses manajemen risiko, sementara assurance memastikan bahwa cara kerja dan proses tersebut diikuti dan dipatuhi dengan benar serta jika terdapat kekurangan diperbaiki.

 

1.3 Mengendalikan Kredit Macet

 

Risiko kredit tercermin dari tingkat kredit macet atau non-performing loan (NPL). Peningkatan risiko kredit harus diwaspadai karena ini adalah risiko terbesar di perbankan mengingat 80% aktivitas bank adalah penyaluran kredit.

 

Saat ini NPL meningkat seiring tajamnya persaingan dan ketatnya likuiditas perbankan. Trend peningkatan kredit macet  terutama sektor UMKM.

 

Kenaikkan ini jelas kurang menguntungkan sektor UMKM.  Angka kredit macet yang tinggi memperlambat pertumbuhan kredit di sektor ini karena bank akan melakukan konsolidasi guna mengendalikan kredit macet supaya tidak berlanjut naik ke tingkat yang membahayakan.

 

Ada beberapa hal yang wajib diperhatikan dalam pengelolaan risiko kredit sbb:

 

Pertama, adanya Kebijakan Kredit (policy), yang menetapkan aturan dan standar secara jelas untuk aktivitas bisnis dan kredit. Kebijakan perlu direvisi dan disesuaikan secara periodik untuk memastikan kelanjutan efektifitas dan kesesuaiannya.

 

Kedua, adanya Batasan Eksposur yang menyediakan limit secara jelas untuk risiko finansial. Batasan eksposur ini ditetapkan selaras dengan risk appetite bank bersangkutan. Limit eksposur ini membuat bank sedari awal sudah punya panduan yang jelas mengenai total risiko yang akan diterimanya.

 

Ketiga, adanya Pendelegasian Wewenang persetujuan kredit yang memastikan bahwa pengambilan keputusan hanya dilakukan oleh pihak yang memang punya kemampuan dan diberi wewenang oleh bank. Wewenang ditinjau paling sedikit setiap tahun untuk memastikan bahwa wewenang tersebut tetap tepat dan untuk menilai kualitas keputusan yang diambil oleh individu yang berwenang.

 

Kesimpulan

 

Menjaga stabilitas sistem keuangan mensyaratkan kuatnya sistem perbankan. Di Indonesia,perbankan adalah urat nadi sistem keuangan, karena mengusai hampir 90% transaksi keuangan. Agak berbeda dengan di negara – negara maju yang bank dan pasar modal hampir seimbang kontribusinya.

 

Kuatnya sistem perbankan harus didukung oleh manajemen risiko yang strong. Karena bisnis bank pada dasarnya adalah bisnis mengelola risiko. Niscaya dengan manajemen risiko yang bagus terbentuk perbankan yang solid yang menopang bangunan sistem keuangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun