Aku punya nama.
Nama saat bersamamu, nama saat bersamanya.
Nama saat aku lelah berdiri sendirian, nama saat kau dan yang lain mencaciku.
Yang untuk melahirkan nama itu, aku harus dilempari banyak pilu.
Yang demi memunculkan nama itu, aku harus membangun benteng tinggi.
Aku punya banyak nama.
Nama saat aku menemukanmu lagi, nama saat aku membuangmu lagi.
Nama saat aku merasa lebih baik aku tidak ada saja, nama saat aku berpikir hidup bukanlah dongeng.
Yang untuk menghidupkannya, aku harus menggapai-gapai asa yang terlalu tinggi.
Yang demi mempertahankannya, aku harus tetap bernafas; menelan pahit harapan yang tak kunjung kabul.
Namaku kali ini masih tentang aku dan kau.
Ia tercipta di sela-sela cumbuan malam.
Dan telah aku buang bersama jiwaku pagi tadi, berharap kau tidak tahu inilah aku yang asli.
Nama,
Nama,
Nama.
Bolehkan aku mencaci Shakespeare atas kalimatnya?
Aku tidak boleh tidak bernama. Aku mati tanpa nama, brengsek.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H