Mohon tunggu...
Roy Erickson Mamengko
Roy Erickson Mamengko Mohon Tunggu... dosen tetap fisip universitas sam ratulangi -

Lahir di Tondano, Minahasa 5 November. Tahun 1985 menyelesaikan pendidikan strata satu (Doctorandus) di FISIP Universitas Sam Ratulangi. Antara tahun 1993-2000 menyelesaikan program strata dua dalam dua bidang ilmu yang berbeda (MA dan M.Theol) di Apollos Theological Seminary Jakarta, dan Asbury Theological Seminary USA. Antara tahun 2000-2004, menyelesaikan program strata tiga (Doctor by Research) di Northern State University USA.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Potensi Revolusi dalam Dinamika Politik Rezim SBY: Berkaca dari Timur-Tengah

26 Maret 2011   08:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:25 518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada umumnya, studi perubahan sosial, politik dan ekonomi, berfokus pada kondisi objektif yang terbentuk dari proses-proses sosial yang dis-asosiatif dalam negeri, yang menimbulkan krisis revolusioner. Dengan tidak mengabaikan konteks internasional, sebagai faktor pemberi pengaruh. Konteks internasional "dapat dianggap"  turut memberi pengaruh atas timbulnya semua krisis sosial-revolusioner dengan segala akibat yang mengikutinya. Semua faktor penyebab timbulnya sebuah revolusi, baik yang bersifat sosial maupun politik, dalam kenyataannya, selalu terkait erat dengan penyebaran ekonomi kapitalis internasional yang tidak "berimbang" dan pembentukan negara-negara berskala dunia.

Dalam konteks pembagian kerja internasional yang timpang, revolusi sosial cenderung terjadi di negara-negara yang posisinya dalam arena internasional dipandang "lemah". Ketergantungan politik, juga ikut serta membantu melemahkan otoritas politik dan pengawasan dalam negeri. Kondisi negara yang seperti ini, menjadi sangat rentan dari konflik dan pengendalian terhadap transformasi struktural yang dilakukan negara.

Theda Skocpol[2] dalam penelitiannya menunjukkan, bahwa terjadinya revolusi di Perancis (1787-1800), revolusi di Rusia pertengahan 1917 dan revolusi di Cina tahun 1911-1916, lebih disebabkan karena posisi ketiga negara tersebut lemah dalam menghadapi tekanan internasional.

Begitu pula cara ketiga negara itu mengelola dinamika sosial-politik internal negara mereka yang agraris. Pengelolaan negara dilakukan dengan cara yang sangat represif. Akibatnya, ketika masyarakat (mayoritas petani) tak sanggup lagi menerima tekanan dan eksploitasi negara, masyarakat bangkit melakukan perlawanan dan pemberontakan. Perlawanan kaum marginal dan yang termarginalkan acapkali dilakukan bersamaan dengan datangnya dukungan dan tekanan Internasional ke dalam negeri negara bersangkutan. Tekanan internasional ini dimaksudkan untuk membuka jalan bagi para elit politik marginal[3] supaya leluasa mendukung gerakan populis masyarakat perkotaan dan konsolidasi gerakan massa.

Untuk diketahui, perubahan di Inggris, Jerman, dan Jepang tidak melalui jalan revolusi sosial, tetapi melalui perubahan evolusioner yang bersifat restorasi. Mengapa?, karena ketiga negara tersebut, mampu mengeliminasi ancaman dan tekanan internasional. Juga, mampu meredam tidak terjadinya pemberontakan petani secara luas. Negara-negara ini tetap dominan mengendalikan bentuk perubahan bangsanya kearah yang lebih mulus.

Berbeda dengan kasus yang muncul di Perancis tahun 1787-1800. Rusia tahun 1917-1921. Dan, di Cina antara tahun 1911-1949. Revolusi di ketiga negara ini, muncul karena memudarnya kontrol negara atas hubungan-hubungan kelas[4] dalam masyarakat. Sedangkan reformasi di Inggris, Jerman, dan Jepang, dimungkinkan oleh karena kedudukan negara yang tetap stabil mengendalikan hubungan-hubungan kelas dalam masyarakat mereka.

IV

Beranjak dari pengalaman negara-negara tersebut, Indonesia kontemporer di bawah pemerintahan SBY, secara teoritik, dinilai masih terlilit dan sukar keluar dari beberapa persoalan kenegaraan warisan rezim sebelumnya.

Rezim SBY, tampak masih memanfaatkan sistem politik "monolitik" yang bertentangan dengan ciri heterogenitas negara. Heterogenitas diendapkan di bawah hasrat penyeragaman yang bertujuan "memusatkan kekuasaan" untuk memelihara satus quo pemerintah. Contoh dan indikator atas hal ini dapat ditelisik dalam beberapa kasus. Antara lain SKB tiga menteri, kasus Ahmadiayah, dan penetapan pansus pajak di DPR RI.

Dibidang penegakkan Hukum. Rezim SBY tampak masih memonopoli interpretasi atas hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Sering didapati, penetapan hukuman yang berbeda atas kasus-kasus korupsi serupa berskala besar.

Begitu pula dibidang birokrasi pemerintahan. Sifat alamiah birokrasi yang otoriter yang mengeksploitasi konsep hubungan negara dan rakyat secara timpang, belum memudar. Malah dirasakan kian menguat. Terkesan, birokrasi lebih sigap melayani kebutuhan rezim politik dari pada melayani kebutuhan rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun