Mohon tunggu...
Royan Juliazka Chandrajaya
Royan Juliazka Chandrajaya Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang pekerja lepas yang sedang berusaha memahami makna hidup.

Saya suka hal-hal yang berbau fiksi. Jika diberi kesempatan, saya akan terus menulisnya. Instagram : @royanjuliazkach Twitter : @royanazka

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kain Kafan di Kepalaku

22 September 2022   10:50 Diperbarui: 22 September 2022   11:03 777
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di bilik kelas ini, semuanya serba putih. Tak boleh ada warna kain yang berbeda. Sejak kecil kami diajarkan bahwa seragam itu adalah indah dan baik. Kain putih yang kami kenakan bekerja seperti selubung. 

Entah itu menyelubungi hal yang berada di kepala ataupun di badan. Jika saja kami berani menanggalkan kain itu, maka segala kutukan keburukan dunia akan datang kepada kami.

Para penghulu kami mengatakan bahwa kain putih itu mampu membuat paras menjadi lebih cantik. Insan mana yang tak ingin terlihat cantik? Ucapnya.

Yang lain mengatakan bahwa kain putih itu tanda bagi orang-orang yang suci, bersih hati dan pikirannya. Kami pun bingung bagaimana mengukur isi hati seseorang hanya dengan melihat kain apa yang ia kenakan.

Sejak berabad lalu, kami selalu diajarkan bahwa mendengarkan memiliki keutamaan dibanding berbicara. Diam dan mendengar adalah emas. Pendapat kami seolah tak penting jika sudah berhadapan dengan para penghulu. 

Bahkan dalam perkataan yang lain, kami memang diciptakan hanya sebagai ornamen bagi kehidupan. Tak ubahnya taplak meja yang membuat meja terlihat lebih indah. Bersuara dan berbeda pendapat secara lantang adalah tabu bagi kami.

Kepada kami, Maya dan Sinta bercerita kalau memakai kain putih itu membuat mereka tak nyaman. Mereka berniat menanggalkannya. Kami pun segera mengingatkan bahwa tindakan mereka itu berbahaya. 

Jangan. Maya tak mendengarkan. Sinta masih berusaha mengumpulkan keberanian. Maya adalah pengibar bendera dalam kesatuan paskibra, sedang Sinta adalah anggota organisasi keagamaan di sekolah.

Di suatu siang yang dingin, Maya terlihat tak lagi mengenakan kain putih itu. Keberaniannya mengalahkan semua bentuk kesemuan yang ada di bilik kelas. 

Seluruh kewanitaannya terejawantahkan dengan jelas. Kami terpana. Tak pernah sebelumnya melihat paras sejujur dan secantik itu. Tetapi, ada ruang kosong yang kami rasakan bersama. Di mana kehadiran Sinta?

Belum juga terisi ruang kosong itu, penghulu kami telah menjejakkan kaki ke dalam bilik kelas. Suhu udara yang tadinya dingin, sekarang mulai terasa meninggi. Seolah angin kemarau kini menembus pori-pori dinding bilik kelas.

Di tengah suasana tak menentu itu, pikiran kami hanya tertuju pada Maya yang kini mendapat sorotan tajam dari penghulu. Terlihat dari sorot matanya, penghulu kami seperti sedang melancarkan semacam kutukan batin kepada Maya yang kini hanya terdiam ragu.

"Maya, ikut ke ruangan saya" ucap penghulu. Hanya perkataan itu yang keluar dari mulut penghulu dan ia pun kembali menjejakkan kaki keluar bilik kelas dengan memberi tanda agar Maya mengikutinya.

Belum juga jauh langkah kaki penghulu kami, Maya bersuara,

"Mengapa saya harus ikut ke ruangan anda?" ucapnya dengan lugas.

"Bukankah kau telah menyadari ada yang salah dari dirimu?" nada suara penghulu mulai meninggi.

"Mohon maaf penghulu, saya tak mengerti ucapan anda" Maya semakin berani.

" Mana kain putih di kepalamu itu?" tanya penghulu sembari berjalan menuju Maya.

"Saya tak lagi membutuhkannya. Kain itu membuatku tak nyaman" Suara Maya masih sama.

"Berani-beraninya kau berucap seperti itu. Tubuhmu adalah sumber fitnah di dunia ini. Kain itu adalah pelindungmu!" Penghulu sudah berada tepat di hadapan Maya.

"Fitnah apa yang penghulu maksud?" tanya Maya dengan tetap tenang.

Penghulu terdiam sejenak. Terlihat ia sedikit ragu untuk menjawab pertanyaan Maya itu.

"Siapa yang telah mengajarimu seperti ini? Kau telah menyalahi kodratmu. Tak pantas kumpulan sepertimu banyak bertanya" Terdengar penghulu mulai memelankan suaranya.

"Penghulu belum menjawab pertanyaanku yang pertama, lalu kali ini mengatakan bahwa aku menyalahi kodrat. Kodrat seperti apa yang penghulu maksud?" tanya Maya semakin menekan.

"Tuhan telah berfirman bahwa seluruh tubuhmu adalah sumber fitnah. Maka menutupnya adalah cara melindunginya. Jika kau tak menutupnya maka segala keburukan akan menimpamu. Itu adalah peringatan Tuhan"..

"Keburukan seperti apa yang penghulu maksud? Sejauh ini saya tak mengalami keburukan apa pun dalam definisi saya"..

"Kau akan mengundang birahi kaum hewani."..

"Di mana kaum itu wahai penghulu? Apakah mereka terejawantahkan dalam sebuah koloni atau justru mereka hanyalah entitas imajiner yang siapapun dapat menciptakannya?"..

"Kau akan segera mengetahuinya"..

"Apakah kain itu adalah jaminan keamanan bagi diriku?"..

"Tidak sepenuhnya. Tetapi itu akan membantu melindungimu"..

"Lalu mengapa kau menindihkan badan Sinta ke atas selangkanganmu sembari meremas separuh tubuhnya saat dia berada dalam ruanganmu hingga ia menangis? Padahal di saat itu Sinta memakai utuh kain putih di sekujur tubuhnya. Itukah bentuk perlindunganmu? Di mana kaum hewani itu wahai penghulu?"..

Sontak, kami terperangah. Lantai bilik kelas yang terbuat dari ubin murahan seperti akan remuk ke dalam bumi karena tak mampu menahan kabar yang baru saja disiarkan Maya. 

Rahang-rahang kami bergidik. Mata kami tak mampu lagi berkedip. Gelombang suara di dalam bilik kelas bertabrakan menciptakan resonansi yang memekakkan telinga. Uap-uap udara yang keluar dari dalam pori-pori setiap tubuh membuat suhu udara di dalam bilik kelas semakin tinggi.

Penghulu yang sejak tadi berdiri di depan Maya kini terlihat laksana seorang algojo yang telah siap mengeksekusi terdakwa di hadapannya. Tak terduga tangan kanan dari penghulu mendarat dengan cepat di atas pelipis kiri Maya.

"Terlaknat kau! Bukan saja tubuhmu yang menjadi sumber fitnah, tetapi juga suara dan ucapanmu" bentak penghulu dengan suara yang kami yakini benar-benar membuat pita suaranya harus bergetar hebat.

Maya tertunduk sambil memegang pelipisnya. Ia jelas terlihat kesakitan. Kami marah melihat perbuatan penghulu, tetapi kami juga tak tahu harus berbuat apa. Tetapi dari perkataan Maya tadi membuat kami seperti menemukan percikan jawaban tentang keberadaan Sinta yang menjadi tanda tanya.

"Bukankah yang kukatakan itu benar wahai penghulu? Mengapa kau malu mengakuinya di depan kami? Apa yang menyelubungimu? Bukankah kau tak diwajibkan mengenakan kain putih itu? Dibanding kami, kau tak terbebani sama sekali dengan kain-kain yang menjadi ukuran kesucian dan kebersihan." Ucap Maya sambil terisak memegangi pelipisnya.

"BINATANG kau! Tarik semua ucapanmu sekarang atau kau akan segera menerima yang lebih buruk. Kalian semua yang berada di bilik kelas ini, jangan dengarkan apa yang diucapkannya. Lisan yang berasal dari pelanggar kewajiban Tuhan tak pantas didengarkan"  Penghulu membentak kami. Seperti ketakutan.

"Lalu di mana keberadaan Sinta wahai penghulu?" teriak salah seorang dari kami yang sepertinya telah mengumpulkan keberanian sejak tadi.

"Maksud kau apa bertanya seperti itu? Apakah kau turut menuduhku layaknya binatang ini?" penghulu menunjuk Maya.

"Bukankah kau adalah penghulu kami? Tempat kami berkonsultasi jika kami mendapatkan masalah. Jika Sinta tak hadir, bukankah itu pertanda kalau Sinta sedang berada dalam sebuah masalah yang menghalanginya untuk hadir dalam bilik kelas ini?" ..

"Orangtua Sinta tak memberi kabar sama sekali" pungkas penghulu.

"Bohong!" teriak Maya.

"Sinta saat ini sedang berada di dalam bilik kamarnya. Tak ingin keluar. Ia sepanjang hari menangis. Orangtuanya bertanya kepadaku apa yang telah menimpanya dan aku tak tahu harus menjawab apa setelah mendengar perlakuanmu kepada Sinta"..

"Harus kuapakan kau agar mulut kotormu itu berhenti bersuara?" Penghulu kembali memanas.

"Silakan kalian mengunjungi keadaan Sinta jika tak mempercayai apa yang aku katakan" erang Maya.

"Aku memutuskan melepaskan kain putih itu karena aku muak dengan semua kepalsuan ini. Mengapa aku harus memakainya ketika berada di dalam bilik kelas yang panas ini sedangkan saat di luar bilik aku bebas melepasnya? 

Aku sama sekali tak sesuci yang kalian bayangkan, lalu mengapa aku harus berlindung di balik kain putih itu? 

Sejak dulu aku tak pernah mempercayai bahwa kain putih itu akan melindungiku dari terkaman birahi hewani sampai semuanya terbukti ketika Sinta, sahabatku, yang tak pernah bertingkah laku seperti yang diinginkan birahi hewani, harus dipaksa melayani birahi hewani sang penghulu dalam keadaan sekujur tubuhnya yang terbalut kain putih itu" lanjut Maya, namun kini dengan isakan yang lebih hebat.

"Lalu mengapa kau memaksaku memakai kain putih itu? Mengapa aku harus mengadapmu di dalam ruanganmu? Adakah aturan di sekolah ini yang memaksa kita memakai kain putih itu? Mengapa setiap pelanggaran siswa harus diselesaikan dalam ruanganmu? Atau jangan-jangan sudah banyak Sinta-Sinta lain yang telah kau paksa untuk melayani birahi hewanimu?"

"Dengan segala kutipan firman Tuhanmu, kami seolah tak berdaya dan tak dapat memilih sendiri keputusan-keputusan kami. Kami layaknya seonggok mayat yang dapat dibentuk rupakan. Kain putih itu tak ubahnya seperti kain kafan yang menyelimuti mayat. Membungkus tiada sisa, bukan hanya pikiran kami tapi juga tubuh kami. 

Adakah perbudakan yang lebih menyedihkan dibanding itu?" Ucap Maya dengan menggelora. Meski pelipisnya kini terlihat membiru, tetapi suaranya semakin lantang.

"Pihak yang paling pantas disalahkan jika penghulu menyebut tubuh ini sebagai sumber fitnah bukankah Tuhan itu sendiri? Dia lah yang mencipta dan memelihara. Tapi, pikirku, Tuhan tak akan sekejam dirimu wahai  penghulu" pungkas Maya.

Kami terperangah mendengar jawaban Maya itu. Seisi bilik kelas bergeming. Tampak dari air muka penghulu seperti merah padam dan mendidih. Tapi kini ia seperti kehilangan tenaga, bahkan hanya untuk sekedar bersuara. Seluruh energinya mungkin terkuras untuk memanaskan darah yang mulai terpompa dengan cepat ke atas kepalanya. Tak lama berselang, ia jatuh dan terkapar.

Maya lahir dari keluarga yang cukup berpendidikan. Ayahnya adalah seorang insinyur kehutanan dan menghabiskan banyak waktu di luar kota. Ia hanya bisa bertemu Ayahnya tiga bulan sekali. Sedang Ibunya adalah seorang pengajar di sebuah kampus swasta. Ia lebih dekat kepada Ayahnya dibanding Ibunya.

Sinta sendiri lahir dari keluarga yang memiliki latarbelakang agama cukup kuat. Kakeknya adalah seorang Kyai kampung dan Ibunya adalah pengurus di pondok pesantren milik kakeknya. Ayahnya telah meninggal sejak ia masih bayi. 

Perihal kain putih, sudah menjadi hal yang lumrah dikenakan di lingkungan keluarga Sinta. Tetapi Sinta tetaplah seorang manusia yang punya peluang untuk memiliki pandangan yang berbeda.

Salah seorang di antara kami berhasil menjenguk Sinta di kediamannya. Ia bercerita kalau ternyata Sinta mengalami depresi berat dan harus dibawa beberapa kali berobat ke psikiater. Pelecehan yang dialaminya menyimpan luka yang akan dibawanya seumur hidup. Sedangkan Maya, meski harus luka di pelipis, berkat keberaniannya ia mampu mencegah lahirnya luka-luka yang lain.

Selepas kejadian heroik di bilik kelas itu, kami bersama-sama melaporkan apa yang telah dilakukan oleh penghulu kepada pihak berwajib. Penghulu sendiri adalah guru pengajar mata pelajaran agama di bilik kelas kami. Ia terkenal akan kesalehan dan kecerdasannya. Kini ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya setelah Sinta yakin untuk bersuara di muka pengadilan.

Perdebatan antara Maya dan penghulu akan terus kami rekam dalam ingatan kolektif kami. Maya telah menyadarkan kami arti penting sebuah kejujuran dan kesederhanaan. Memakai kain putih tidak melulu berarti orang itu suci, begitupun tak memakai kain putih bukan berarti orang itu kotor. 

Tiap insan memiliki dua sisi itu. Itulah kodrat sebenarnya. Segala keburukan dan kemalangan akan datang bukan karena ketiadaan kain putih itu, tetapi karena tiadanya keberanian dan kelantangan dalam melawan kedzaliman. Benar apa yang dikatakan pepatah, kejahatan akan menguasai dunia jika orang-orang baik hanya bisa diam dan bungkam.

Maya telah mencontohkannya dengan baik kepada kami. Sebelumnya, laksana mayat yang tak memiliki kebebasan, kami hanya bisa diam dan patuh dibaluti kain putih itu. Kini siapapun bebas memakai ataupun tidak memakainya.

Kini kami merasa sedikit lebih hidup dibanding sebelumnya. Keaslian dan kejujuran telah mulai nampak di dalam bilik kelas kami. Semoga Sinta-Sinta lain di dunia ini tak ikut mengalami apa yang dialami oleh Sinta milik kami, dan semoga Maya-Maya lain di dunia ini terus lahir dan meneruskan perjuangan Maya milik kami.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun