Di tengah suasana tak menentu itu, pikiran kami hanya tertuju pada Maya yang kini mendapat sorotan tajam dari penghulu. Terlihat dari sorot matanya, penghulu kami seperti sedang melancarkan semacam kutukan batin kepada Maya yang kini hanya terdiam ragu.
"Maya, ikut ke ruangan saya" ucap penghulu. Hanya perkataan itu yang keluar dari mulut penghulu dan ia pun kembali menjejakkan kaki keluar bilik kelas dengan memberi tanda agar Maya mengikutinya.
Belum juga jauh langkah kaki penghulu kami, Maya bersuara,
"Mengapa saya harus ikut ke ruangan anda?" ucapnya dengan lugas.
"Bukankah kau telah menyadari ada yang salah dari dirimu?" nada suara penghulu mulai meninggi.
"Mohon maaf penghulu, saya tak mengerti ucapan anda" Maya semakin berani.
" Mana kain putih di kepalamu itu?" tanya penghulu sembari berjalan menuju Maya.
"Saya tak lagi membutuhkannya. Kain itu membuatku tak nyaman" Suara Maya masih sama.
"Berani-beraninya kau berucap seperti itu. Tubuhmu adalah sumber fitnah di dunia ini. Kain itu adalah pelindungmu!" Penghulu sudah berada tepat di hadapan Maya.
"Fitnah apa yang penghulu maksud?" tanya Maya dengan tetap tenang.
Penghulu terdiam sejenak. Terlihat ia sedikit ragu untuk menjawab pertanyaan Maya itu.