Mohon tunggu...
Royan Juliazka Chandrajaya
Royan Juliazka Chandrajaya Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang pekerja lepas yang sedang berusaha memahami makna hidup.

Saya suka hal-hal yang berbau fiksi. Jika diberi kesempatan, saya akan terus menulisnya. Instagram : @royanjuliazkach Twitter : @royanazka

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kain Kafan di Kepalaku

22 September 2022   10:50 Diperbarui: 22 September 2022   11:03 777
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rahang-rahang kami bergidik. Mata kami tak mampu lagi berkedip. Gelombang suara di dalam bilik kelas bertabrakan menciptakan resonansi yang memekakkan telinga. Uap-uap udara yang keluar dari dalam pori-pori setiap tubuh membuat suhu udara di dalam bilik kelas semakin tinggi.

Penghulu yang sejak tadi berdiri di depan Maya kini terlihat laksana seorang algojo yang telah siap mengeksekusi terdakwa di hadapannya. Tak terduga tangan kanan dari penghulu mendarat dengan cepat di atas pelipis kiri Maya.

"Terlaknat kau! Bukan saja tubuhmu yang menjadi sumber fitnah, tetapi juga suara dan ucapanmu" bentak penghulu dengan suara yang kami yakini benar-benar membuat pita suaranya harus bergetar hebat.

Maya tertunduk sambil memegang pelipisnya. Ia jelas terlihat kesakitan. Kami marah melihat perbuatan penghulu, tetapi kami juga tak tahu harus berbuat apa. Tetapi dari perkataan Maya tadi membuat kami seperti menemukan percikan jawaban tentang keberadaan Sinta yang menjadi tanda tanya.

"Bukankah yang kukatakan itu benar wahai penghulu? Mengapa kau malu mengakuinya di depan kami? Apa yang menyelubungimu? Bukankah kau tak diwajibkan mengenakan kain putih itu? Dibanding kami, kau tak terbebani sama sekali dengan kain-kain yang menjadi ukuran kesucian dan kebersihan." Ucap Maya sambil terisak memegangi pelipisnya.

"BINATANG kau! Tarik semua ucapanmu sekarang atau kau akan segera menerima yang lebih buruk. Kalian semua yang berada di bilik kelas ini, jangan dengarkan apa yang diucapkannya. Lisan yang berasal dari pelanggar kewajiban Tuhan tak pantas didengarkan"  Penghulu membentak kami. Seperti ketakutan.

"Lalu di mana keberadaan Sinta wahai penghulu?" teriak salah seorang dari kami yang sepertinya telah mengumpulkan keberanian sejak tadi.

"Maksud kau apa bertanya seperti itu? Apakah kau turut menuduhku layaknya binatang ini?" penghulu menunjuk Maya.

"Bukankah kau adalah penghulu kami? Tempat kami berkonsultasi jika kami mendapatkan masalah. Jika Sinta tak hadir, bukankah itu pertanda kalau Sinta sedang berada dalam sebuah masalah yang menghalanginya untuk hadir dalam bilik kelas ini?" ..

"Orangtua Sinta tak memberi kabar sama sekali" pungkas penghulu.

"Bohong!" teriak Maya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun