Maya lahir dari keluarga yang cukup berpendidikan. Ayahnya adalah seorang insinyur kehutanan dan menghabiskan banyak waktu di luar kota. Ia hanya bisa bertemu Ayahnya tiga bulan sekali. Sedang Ibunya adalah seorang pengajar di sebuah kampus swasta. Ia lebih dekat kepada Ayahnya dibanding Ibunya.
Sinta sendiri lahir dari keluarga yang memiliki latarbelakang agama cukup kuat. Kakeknya adalah seorang Kyai kampung dan Ibunya adalah pengurus di pondok pesantren milik kakeknya. Ayahnya telah meninggal sejak ia masih bayi.Â
Perihal kain putih, sudah menjadi hal yang lumrah dikenakan di lingkungan keluarga Sinta. Tetapi Sinta tetaplah seorang manusia yang punya peluang untuk memiliki pandangan yang berbeda.
Salah seorang di antara kami berhasil menjenguk Sinta di kediamannya. Ia bercerita kalau ternyata Sinta mengalami depresi berat dan harus dibawa beberapa kali berobat ke psikiater. Pelecehan yang dialaminya menyimpan luka yang akan dibawanya seumur hidup. Sedangkan Maya, meski harus luka di pelipis, berkat keberaniannya ia mampu mencegah lahirnya luka-luka yang lain.
Selepas kejadian heroik di bilik kelas itu, kami bersama-sama melaporkan apa yang telah dilakukan oleh penghulu kepada pihak berwajib. Penghulu sendiri adalah guru pengajar mata pelajaran agama di bilik kelas kami. Ia terkenal akan kesalehan dan kecerdasannya. Kini ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya setelah Sinta yakin untuk bersuara di muka pengadilan.
Perdebatan antara Maya dan penghulu akan terus kami rekam dalam ingatan kolektif kami. Maya telah menyadarkan kami arti penting sebuah kejujuran dan kesederhanaan. Memakai kain putih tidak melulu berarti orang itu suci, begitupun tak memakai kain putih bukan berarti orang itu kotor.Â
Tiap insan memiliki dua sisi itu. Itulah kodrat sebenarnya. Segala keburukan dan kemalangan akan datang bukan karena ketiadaan kain putih itu, tetapi karena tiadanya keberanian dan kelantangan dalam melawan kedzaliman. Benar apa yang dikatakan pepatah, kejahatan akan menguasai dunia jika orang-orang baik hanya bisa diam dan bungkam.
Maya telah mencontohkannya dengan baik kepada kami. Sebelumnya, laksana mayat yang tak memiliki kebebasan, kami hanya bisa diam dan patuh dibaluti kain putih itu. Kini siapapun bebas memakai ataupun tidak memakainya.
Kini kami merasa sedikit lebih hidup dibanding sebelumnya. Keaslian dan kejujuran telah mulai nampak di dalam bilik kelas kami. Semoga Sinta-Sinta lain di dunia ini tak ikut mengalami apa yang dialami oleh Sinta milik kami, dan semoga Maya-Maya lain di dunia ini terus lahir dan meneruskan perjuangan Maya milik kami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H