"Sinta saat ini sedang berada di dalam bilik kamarnya. Tak ingin keluar. Ia sepanjang hari menangis. Orangtuanya bertanya kepadaku apa yang telah menimpanya dan aku tak tahu harus menjawab apa setelah mendengar perlakuanmu kepada Sinta"..
"Harus kuapakan kau agar mulut kotormu itu berhenti bersuara?" Penghulu kembali memanas.
"Silakan kalian mengunjungi keadaan Sinta jika tak mempercayai apa yang aku katakan" erang Maya.
"Aku memutuskan melepaskan kain putih itu karena aku muak dengan semua kepalsuan ini. Mengapa aku harus memakainya ketika berada di dalam bilik kelas yang panas ini sedangkan saat di luar bilik aku bebas melepasnya?Â
Aku sama sekali tak sesuci yang kalian bayangkan, lalu mengapa aku harus berlindung di balik kain putih itu?Â
Sejak dulu aku tak pernah mempercayai bahwa kain putih itu akan melindungiku dari terkaman birahi hewani sampai semuanya terbukti ketika Sinta, sahabatku, yang tak pernah bertingkah laku seperti yang diinginkan birahi hewani, harus dipaksa melayani birahi hewani sang penghulu dalam keadaan sekujur tubuhnya yang terbalut kain putih itu" lanjut Maya, namun kini dengan isakan yang lebih hebat.
"Lalu mengapa kau memaksaku memakai kain putih itu? Mengapa aku harus mengadapmu di dalam ruanganmu? Adakah aturan di sekolah ini yang memaksa kita memakai kain putih itu? Mengapa setiap pelanggaran siswa harus diselesaikan dalam ruanganmu? Atau jangan-jangan sudah banyak Sinta-Sinta lain yang telah kau paksa untuk melayani birahi hewanimu?"
"Dengan segala kutipan firman Tuhanmu, kami seolah tak berdaya dan tak dapat memilih sendiri keputusan-keputusan kami. Kami layaknya seonggok mayat yang dapat dibentuk rupakan. Kain putih itu tak ubahnya seperti kain kafan yang menyelimuti mayat. Membungkus tiada sisa, bukan hanya pikiran kami tapi juga tubuh kami.Â
Adakah perbudakan yang lebih menyedihkan dibanding itu?" Ucap Maya dengan menggelora. Meski pelipisnya kini terlihat membiru, tetapi suaranya semakin lantang.
"Pihak yang paling pantas disalahkan jika penghulu menyebut tubuh ini sebagai sumber fitnah bukankah Tuhan itu sendiri? Dia lah yang mencipta dan memelihara. Tapi, pikirku, Tuhan tak akan sekejam dirimu wahai  penghulu" pungkas Maya.
Kami terperangah mendengar jawaban Maya itu. Seisi bilik kelas bergeming. Tampak dari air muka penghulu seperti merah padam dan mendidih. Tapi kini ia seperti kehilangan tenaga, bahkan hanya untuk sekedar bersuara. Seluruh energinya mungkin terkuras untuk memanaskan darah yang mulai terpompa dengan cepat ke atas kepalanya. Tak lama berselang, ia jatuh dan terkapar.