Di sana ia banyak mengenal wanita dari berbagai negara rupanya. Perpaduan antara Pisang dan Susu menurutnya adalah lambang kesejatian laki-laki.Â
Butuh dua jam percakapan agar saya dapat tertawa terbahak-bahak setelah menangkap maknanya. Agus sendiri sudah tertawa sejam yang lalu. Selama berbincang, saya akhirnya tersadar kalau membeli pisang susu tersebut ternyata benar-benar memiliki makna.Â
Dalam hati saya menghaturkan terima kasih kepada nenek berkebaya merah.
Kecanggungan kami mengawali percakapan dijawab oleh Pak Soes dengan berkata,
"Jangan pernah memperbudak, jangan mau diperbudak, makanlah dari hasil keringat dan kerja kerasmu," Ia mengucapkan kalimat tersebut sambil menatap saya dengan tajam.
Seolah-olah ia baru saja menyampaikan kalimat itu kepada seseorang untuk pertama kalinya padahal saya yakin betul bahwa bisa saja saya adalah orang kesekian yang ribu mendengar langsung kalimat itu darinya.
Saya hanya tunduk dan menatap setengah badannya. Bajunya lusuh, terdapat beberapa lobang. Celananya juga tak kalah, benang-benang obras bagian pinggir celananya telah terurai tak karuan.Â
Kuku tangan dan kakinya belum sempat ia potong. Di ujung jempol kedua kakinya terdapat sebuah gumpalan hitam yang saya sendiri tak dapat memastikan itu benda apa.
Mungkin saja sisa-sisa sampah organik yang menempel karena aktivitas hariannya yang bergumul dengan "residu peradaban" (saya menyebutnya seperti itu) atau kotoran kambing miliknya yang tak sengaja ia injak karena matanya tak lagi awas memperhatikan sekitar.
Tapi jangan salah. Di balik balutan pakaian serba sederhana itu, bernaung sebatang tubuh yang menyimpan kedalaman ilmu.Â
Meski setiap hari harus bergumul dengan residu peradaban, kemuliaan Pak Soes tak berkurang sama sekali. Emas akan tetap menjadi emas meski ia berada di tumpukan batu atau kubangan lumpur.