Apes, saya lupa membawa dompet. Posisi saya ketika itu persis di dekat bahu jalan dan searah garis lurus dengan tempat si nenek berdiri. Ketika si nenek mendekat, tanpa pikir panjang saya pun bertanya berapa harga dagangannya itu.
"40 ribu, Mas," jawabnya.
Saya memperhatikan dengan seksama, pisang yang ia jual itu adalah pisang susu. Satu sisir ia jual dengan harga 40 ribu. Mahal? Tentu saja bagi saya yang tak tahu seluk beluk harga perpisangan.Â
Tapi, karena sudah terjebak keadaan, saya mengeluarkan sedikit kemampuan saya dalam bernegosiasi.
"Wah, saya bawa uang gak nyampe 40 ribu nek, cuma 20 ribu ini di kantong saya," ucap saya sambil memelas.
"Ndak bisa kalau 20 ribu mas, ya sudah nek, ndak jadi kalau begitu," ucap saya. Si nenek tidak menyerah.
"Kalau begitu saya kasih 30 ribu saja Mas," pungkasnya. Karena sudah terjebak keadaan, saya pun membelinya. Bagaimana caranya? Tentu saja dengan meminjam uang si Vina.
Pisang saya angkut, lampu merah berganti lampu hijau dan perjalanan dilanjutkan. Sesampainya di LKiS, di sana Agus ternyata telah sampai lebih dulu dan menunggu kedatangan kami. Dengan wajah setengah penasaran, ia bertanya untuk apa saya membeli pisang di siang bolong.Â
Padahal di antara kami tidak ada yang menyukai pisang. Saya juga bingung. Mungkin saja nanti ada yang membutuhkannya pikirku.
Sepanjang siang hingga sore, waktu kami habiskan dengan segudang percakapan yang cukup fluktuatif. Lalu tiba-tiba sebuah pertanyaan muncul.
"Mau kemana kita nanti malam?" kebetulan waktu itu adalah akhir pekan.